Ketegangan antara militer Turki dengan Yunani yang didukung Prancis di perairan Mediterania Timur semakin menjadi-jadi. Prancis dikabarkan telah mengerahkan kapal induk bertenaga nuklir, Charles de Gaulle dan sejumlah kekuatan militer lainnya untuk menghadapi kekuatan militer Turki di Laut Mediterania Timur.
Pengerahan armada perang Prancis itu sebagai bukti nyata dukungan dari negara-negara Uni Eropa (UE) terhadap Siprus Yunani di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Yunani yang saat ini disengketakan Turki.
Baca Juga: Cemas Perang Pecah, Yunani Disokong Jet Dassault Rafale Prancis
Dukungan terhadap Yunani hari ini kembali ditegaskan oleh Juru Bicara Komisi Uni Eropa, Peter Stano. Stano menyatakan, sikap UE tidak akan berubah di Mediterania Timur. Uni Eropa mendukung Yunani dan Administratif Siprus Yunani seperti halnya yang telah disampaikan Menteri Luar Negeri Uni Eropa minggu lalu di Berlin.
Uni Eropa meminta Turki untuk menghentikan aktivitas militernya di Laut Mediterania dengan kata lain Turki harus menyerah, demi menurunkan ketegangan di wilayah tersebut.
"Langkah-langkah pembatasan dapat diadopsi, tetapi kami juga dapat mengikuti jalur perjuangan untuk mengurangi ketegangan melalui dialog dan negosiasi," kata Peter Stano dikutip dari Anadolu Agency, Rabu (2/9/2020).
Sementara itu, Angkatan Bersenjata Yunani (Hellenic Armed Forces) sudah bergerak mendekati perbatasan Turki ke Pulau Meis, Kastellorizo. Pergerakan militer Yunani itu menjadi titik awal untuk Yunani menghantam kekuatan militer Turki. Sebab, Pulau Meis hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari wilayah selatan pesisir pantai Turki.
Meskipun desakan dari Uni Eropa kian kuat kepada Turki, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada hari Selasa (1/9/2020) kembali menegaskan, pihaknya tidak akan mundur satu langkah pun dari tujuan untuk mengeksplorasi minyak dan gas di Laut Mediterania.
Erdogan menyatakan, aktivitas Turki di Laut Mediterania Timur didasarkan pada pencarian hak dan keadilan. Meskipun beberapa negara telah berusaha membatasi Turki, lanjut Erdogan, Turki akan memberikan perlawanan terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh negara-negara UE tersebut.
"Ini adalah bukti paling eksplisit dari kesalahan dan ketidakadilan untuk mencoba membatasi Turki. (mereka) mengabaikan ukuran raksasa 780.000 kilometer persegi ke pantainya melalui pulau kecil seluas 10 kilometer persegi (Pulau Meis)," kata Erdogan.
Erdogan juga mengkritik langkah militer Yunani yang telah bergerak ke Pulau Meis. Menurut Erdogan, langkah Yunani itu telah melanggar Perjanjian Perdamaian Paris 1947, karena Pulau Meis merupakan pulau yang memiliki status demiliterisasi.
Presiden Turki itu pun menuding apa yang dilakukan oleh negara-negara Uni Eropa dan Yunani sebagai bentuk penjajahan baru atau kolonialisme modern terhadap Turki. Menurut Erdogan, semua negara tetangga di kawasan Mediterania sejatinya memiliki hak untuk mendapatkan keuntungan dari sumber daya alam, termasuk Turki.
“Upaya untuk mengklaim secara ilegal sumber daya Mediterania, yang haknya dimiliki oleh semua negara di sekitarnya, adalah contoh nyata dari kolonialisme modern. Ini juga ketidakadilan terbesar bahwa beberapa mencoba untuk mewujudkan agenda tersembunyi mereka dengan melemparkan negara yang telah mempertahankan eksistensinya dengan bersembunyi di balik orang lain sepanjang sejarah, sebelum Turki,” kata Presiden Erdogan.
Dia menuding negara-negara Uni Eropa saat ini tengah memainkan strategi politik ‘bayangan’ dengan memanfaatkan sengketa antara Yunani dan Turki. Menurut Erdogan, negara-negara Uni Eropa mendukung Yunani karena mereka memiliki "agenda tersembunyi" di laut Mediterania.
"Turki muak dengan agenda tersembunyi dan itu menjadi konyol untuk melemparkan negara yang tidak mampu berbuat baik untuk dirinya sendiri sebagai umpan sebelum Turki yang merupakan kekuatan regional dan global," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah memutuskan untuk memperpanjang waktu kegiatan operasi militer Turki di Laut Mediterania dengan sandi NAVTEX hingga 11 September 2020 mendatang.
Kegiatan militer Turki itu dilakukan bersamaan dengan kegiatan penelitian seismic Kapal Oruc Reis yang dilakukan sejak pertengahan bulan lalu guna mensukseskan rencana eskplorasi sumber daya minyak dan gas di perairan Mediterania Timur.
Rencana eksplorasi minyak dan gas yang akan dilakukan oleh Turki itu merupakan buah dari kerja sama antara Turki dan Pemerintah Kesepekatan Nasional Libya-GNA atas keterlibatan militer Turki di Libya selama ini.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: