Sementara itu, Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) mengusulkan agar pemerintah memberlakukan aturan penjualan dengan harga minimum 85% dari harga jual eceran (HJE) secara nasional, tidak hanya pada 50% dari wilayah pengawasan Kanwil Bea dan Cukai. Hal ini yang disampaikan oleh Heri Susianto, Ketua Harian Formasi, beberapa waktu lalu. Tujuannya, lanjut Heri, untuk memberikan keadilan yang jauh lebih merata antara perusahaan rokok skala besar dengan usaha sejenis berskala menengah dan kecil.
Lima tahun lalu, lanjut Heri, tidak ada aturan untuk menjual 85% dari HJE. Dengan kata lain perusahaan rokok bebas menjual dengan harga berapa pun, bahkan bisa jauh di bawah 85%. Akibatnya, usaha rokok besar menekan pasar IHT yang diproduksi usaha kecil. Hal itu terjadi karena selisih harga tidak terpaut begitu jauh.
Agar lebih berkeadilan, Formasi mengusulkan agar ketentuan perusahaan rokok harus menjual IHT minimum 85% itu berlaku nasional. Saat ini berlaku Perdirjen 37/BC/2017, dimana perusahaan rokok berpeluang menjual rokok di bawah 85% di daerah-daerah di luar 40% dari wilayah kerja pengawasan Kanwil Bea dan Cukai.
Efektifitas usulan tadi, lanjut Heri, membutuhkan pengawasan di lapangan. Karena itulah, KPPU (Komisi Pengawasan Persaingan Usaha) perlu turun ke lapangan agar perusahaan rokok besar benar-benar menaati ketentuan tersebut. Dengan cara seperti itu, maka pasar IHT bisa berjalan adil karena tidak ada lagi hanya beberapa perusahaan rokok yang mengusai pasar rokok nasional. Bisa dihindari adanya praktik oligopoli karena hanya dikuasai beberapa merek saja.
“Kami sudah berkali-kali meminta agar KPPU mengawasi masalah harga rokok yang cenderung mematikan perusahaan kecil karena selisihnya tidak lebar, namun sampai saat ini belum juga direspons,” ucapnya. Belum lagi, sambungnya, banyak perusahaan besar yang menjual produknya dengan di bawah harga banderol (dumping). “Ada banyak perusahaan yang menjual dumping dan tidak etis kalau saya mengungkapkan hal ini,” katanya.
Berdasarkan data lapangan yang dihimpun redaksi, beberapa sumber mengungkapkan bahwa produk-produk yang diproduksi oleh PT HM Sampoerna seperti Magnum Mild dan Magnum Filter dijual dengan harga dumping di beberapa wilayah.
Namun, dia meyakinkan, meski perusahaan boleh menjual IHT 85% dari HJE sebenarnya tidak berpengaruh pada penerimaan negara. Hal itu terjadi karena perusahaan rokok tetap membayar cukai 100% dari HJE. Begitu juga PPN dan Pajak Daerah tetap dibayar penuh.
Dengan demikian, kata dia, sebenarnya penjualan IHT minimum 85% itu hanya strategi pasar. Intinya, agar produksi tetap dapat terserap pasar. Strategi itu ditempuh karena perusahaan rokok tidak ingin produknya tidak terserap pasar karena serbuan rokok ilegal, yang memiliki selisih harga jauh lebih murah.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: