Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute Karyono Wibowo meragukan urgensi wacana rekonsiliasi pemerintah seiring kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) ke tanah air. Karyono meminta, rekonsiliasi dengan kubu HRS tak hanya diartikan bagi-bagi kekuasaan.
Karyono sepakat bahwa rekonsiliasi nasional merupakan kebutuhan bangsa agar tidak terjebak ke dalam kubangan konflik berkepanjangan. Tetapi, menurutnya, wacana rekonsiliasi mengalami bias makna dan salah kaprah belakangan ini.
Karyono mencontohkan, rekonsiliasi salah kaprah pernah didengungkan saat Pilpres 2019 berujung rusuh. Kondisi itu membuat pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin merangkul Prabowo Subianto yang menjadi lawan politiknya selama dua kali Pilpres berturut-turut. Upaya merangkul lawan politik itu menggunakan terminologi rekonsiliasi dengan dalih "the winner doesn't take it all", pemenang tidak mengambil semuanya.
Baca Juga: Mantan KSAU Pasang Badan buat Pangdam: Rizieq, Jangan Berkata Seenak Jidatnya!
"Ujungnya, Partai Gerindra masuk ke dalam koalisi pemerintahan dan mendapat jatah dua menteri. Rekonsiliasi akhirnya terdistorsi menjadi sekedar koalisi," kata Karyono pada Republika, Selasa (24/11).
Atas dasar itu, Karyono merasa istilah rekonsiliasi nasional sangat tidak tepat jika sebatas merangkul kubu HRS. Menurutnya, tindakan semacam itu lebih tepat disebut kompromi politik atau politik akomodatif.
Dia menyarankan, jika pemerintahan Jokowi-Ma'ruf bersedia melakukan kompromi atau politik akomodatif dengan kubu HRS, maka cukup menunjuk Menkopolhukam Mahfud MD atau siapa pun yang dipandang bisa berperan sebagai utusan.
"Pasalnya, jika hanya untuk merangkul HRS atau kubu oposisi, namanya bukan rekonsiliasi nasional," ujar Karyono.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: