Sam Poo Kong merupakan salah satu tempat wisata terkenal di Kota Semarang, Jawa Tengah. Sam Poo Kong merupakan klenteng yang dibangun oleh masyarakat keturunan Tionghoa sebagai bentuk penghargaan kepada Laksamana asal Tiongkok, Cheng Ho, yang singgah di Pulau Jawa.
Berlokasi di Jalan Simongan Raya Nomor 129, Bongsari, Semarang Barat, Sam Poo Kong saat ini dijadikan tempat peringatan dan pemujaan atau persembahyangan serta tempat ziarah. Sam Poo Kong memiliki lima klenteng yang masih aktif digunakan untuk ibadah umat Konghucu.
Baca Juga: Fadel Muhammad: Kebudayaan Bisa Dikembangkan Menjadi Komoditas Pariwisata
"Sam Poo Kong ada lima klenteng, semuanya masih aktif untuk ibadah umat Konghucu 24 jam. Untuk wisatawan nggak 24 jam. Setiap klenteng fungsinya beda-beda. Ketika ibadah, umat Konghucu nggak boleh asal. Harus urut (klenteng). Tidak hanya masyarakat Tionghoa, orang Jawa juga berjiarah di sini," kata Desy, seorang pemandu wisata, saat program "Perjalanan Wisata Pengenalan Destinasi Prioritas Pasar Domestik Nusantara" kerja sama antara Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dengan Garuda Indonesia di Sam Poo Kong belum lama ini.
"Sam Poo Kong artinya orang atau bapak yang dimuliakan. Sam Poo Kong itu Cheng Ho. Cheng Ho dulu seorang kasim, tugasnya menjaga selir raja. Anak buah Cheng Ho disebar di negara-negara untuk berdagang dan nikahin orang lokal," tambahnya.
Klenteng tersebut terdiri dari klenteng pertama Sam Poo Kong, kedua Dewa Bumi, ketiga Kyai Juru Mudi, keempat Kyai Jangkar, dan kelima Kyai Nyai Tumpeng. Di beberapa bangunan ini terdapat makam juru mudi Cheng Ho, gua batu yang dipercaya memiliki mata air yang baik untuk kesehatan, jangkar kapal Cheng Ho, Hoo Ping atau sahabat Cheng Ho, dan makam juru masak Cheng Ho.
Cheng Ho berlayar melewati Laut Jawa. Namun, saat melintasi Laut Jawa, juru mudinya, Wang Jing Hong, sakit keras. Sebuah gua batu dijadikan tempat beristirahat Cheng Ho dan mengobati Wang Jing Hong. Sementara juru mudinya menyembuhkan diri, Cheng Ho melanjutkan pelayaran ke Timur untuk menuntaskan misi perdamaian dan perdagangan keramik serta rempah-rempah.
Selama di Simongan, Wang Jing Hong memimpin anak buahnya menggarap lahan, membangun rumah, dan bergaul dengan penduduk setempat. Lingkungan sekitar gua jadi berkembang dan makmur karena aktivitas dagang maupun pertanian. Demi menghormati pimpinannya, Wang Jing Hong mendirikan patung Cheng Ho di gua batu tersebut untuk dihormati dan dikenang masyarakat sekitar.
Wang Jing Hong meninggal pada usia 87 tahun dan dimakamkan di sekitar situ. Sejak itu masyarakat menyebutnya sebagai makam Kyai Juru Mudi. Ketika gua batu runtuh akibat longsor, masyarakat membangun gua buatan yang letaknya bersebelahan dengan makam Kyai Juru Mudi.
"Mereka di Semarang sampai menikah dengan wanita lokal dan meninggal, makanya di sini (Semarang) banyak anak buah Cheng Ho. Ini klenteng dari masyarakat. Jadi lebih ke budaya. Di sini juga ada relief Sam Poo Kong. Perjalannya dari hidup, pelayarannya di setiap negara hingga meninggal," terang Desy.
Sementara itu, selama pandemi COVID-19, Sam Poo Kong melakukan adaptasi dengan menerapkan protokol kesehatan berupa 3M yakni menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan untuk mencegah penyebaran virus corona baru. Ini sejalan dengan program yang diusung Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yakni CHSE (Cleanliness, Health, Safety, dan Environment).
Di masa pendemi diharapkan masyarakat tetap menjadi pahlawan di negeri sendiri dengan berwisata #DiIndonesiaAja untuk menikmati #WonderfulIndonesia serta tetap menerapkan protokol kesehatan 3M.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: