Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara menegaskan, pemerintah dan aparat penegak hukum harus lebih legowo. Jangan mudah terpancing emosi. Apalagi mudah memenjarakan individu atau kelompok yang dinilai tidak sependapat. "Kecenderungan penyampaian pendapat dan kritik yang berujung ke pemidanaan sangat meningkat dari tahun-tahun sebelumnya," ujarnya.
Pemidanaan terhadap kritikus, lanjutnya, tak cuma terjadi di level nasional. Melainkan juga massif terjadi di daerah-daerah. Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah dan aparat penegak hukum. "Kan bisa bedakan mana yang kritik, mana pendapat, yang mana kabar bohong atau hoaks, dan yang mana informasi SARA, ataupun hasutan,” jelas Beka.
Pembungkaman terhadap kritik, sambungnya, sama saja menutup kanal partisipasi masyarakat dalam memberikan asupan saran ke pemerintah. “Pemerintah harus mendasarkan kritik dan penyampaian pendapat tersebut, sebagai pemenuhan hak atas demokrasi, dan pemenuhan hak untuk bebas berpendapat,” terangnya.
Pakar hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Tholabi Karlie, menyarankan, temuan Komnas HAM ini menjadi catatan penting bagi pemerintah. Sebab, esensi demokrasi adalah kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat.
Tholabi menyebut, survei yang dirilis Komnas HAM persis dengan catatan yang pernah dibuat akademisi dan masyarakat sipil. Terutama tentang dorongan perubahan UU ITE yang menjadi norma karet. 'Termasuk perlunya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi," paparnya, kepada Rakyat Merdeka, tadi malam.
Meski demikian, lanjutnya, kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik harus tetap dalam koridor hukum dan moral. "Kritik tidaklah identik dengan hoaks. Kebebasan menyatakan pendapat yang merupakan hak asasi warga juga tidak bisa dilepaskan dari spirit hukum dan moral," terang Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta itu.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti