Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Agenda Reindustralisasi Pasca-Pandemi: Efektifkah RPP Dorong Revitalisasi Manufaktur?

Agenda Reindustralisasi Pasca-Pandemi: Efektifkah RPP Dorong Revitalisasi Manufaktur? White sewing machine. | Kredit Foto: Unsplash/Agto Nugroho
Warta Ekonomi, Jakarta -

Dalam menjawab tantangan proses pemulihan ekonomi dan tren deindustrialisasi prematur yang tengah dialami oleh Indonesia, pemerintah tengah mengeluarkan produk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Perdagangan dan Perindustrian, yang merupakan turunan dari UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Pandemi Covid-19 telah menghantam industri manufaktur. Meski sampai November 2020, secara keseluruhan ekspor produk manufaktur mampu mencatatkan pertumbuhan positif bahkan lebih baik dibandingkan pertumbuhan tahun lalu, hal itu tidak berlaku pada semua subsektor manufaktur. Kenaikan ini tidak terlepas dari ekspor subsektor manufaktur logam dasar yang mengalami peningkatan hingga 20%.

Baca Juga: Good News! Aktivitas Manufaktur Indonesia Terus Ekspansif

Meski begitu, sektor industri unggulan lainnya seperti Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) melanjutkan kinerja pertumbuhan ekspor negatif di tahun lalu. Menurut Jemmy Kartiwa Sastraatmadja, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), penurunan itu tidak terlepas dari melemahnya demand pasar dalam negeri. Hal itu disebabkan didominasinya pasar oleh produk impor.

Sebagai informasi, pangsa pasar konsumsi untuk produksi dalam negeri pada tahun 2016 mencapai 65%, tetapi pada tahun 2019 jumlah menurun menjadi 56%. Hal ini ditambah dengan level playing field yang tidak seimbang dengan negara pesaing, seperti misalnya China, Bangladesh, Vietnam, dan India.

Sementara itu, menurut Rachmat Hidayat dari Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI), industri makanan dan minuman ikut terdampak dengan adanya pandemi ini. Meski masih bisa mencatatkan pertumbuhan yang positif, industri ini harus melakukan adaptasi dari perubahan perilaku konsumen yang lebih mawas terhadap kesehatan ataupun kebersihan dalam produk makanan dan minuman yang akan mereka konsumsi.

Menurut Prof. Ina Primiana, kendala umum yang dihadapi industri manufaktur adalah masalah rendahnya daya saing yang disebabkan oleh berbagai hal. Dalam kebijakan impor misalnya, produk industri dalam negeri tidak dapat bersaing dengan barang impor yang harganya jauh lebih murah sehingga penggunaan bahan baku dan bahan penolong impor lebih menjadi prioritas.

Di sisi lain, kebijakan perdagangan seperti Free Trade Area (FTA) dilakukan tanpa persiapan yang matang sehingga ketika perjanjian FTA mulai berlangsung industri di dalam negeri tidak dapat bersaing dengan produk impor.

Dari dalam negeri, mahalnya ongkos logistik menjadi masalah klasik yang masih menjadi pekerjaan rumah. Tingginya biaya logistik disebabkan penerapan infrastruktur logistik belum terintegrasi dan menciptakan biaya ekonomi tinggi.

Menurutnya, berkaitan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Perdagangan dan Perindustrian yang dicanangkan pemerintah, RPP akan mampu mendorong "reindustrialisasi" bila pasal-pasal yang ada mengatur beberapa persoalan yang dihadapi industri manufaktur nasional. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mengurangi ketergantungan bahan impor, membantu industri dalam negeri dalam kemudahan Lokal Tujuan Ekspor (KLTE), kemudahan dan insentif yang diberikan yang mendorong penggunaan bahan baku lokal, jaminan pasar bagi industri dalam negeri baik industri hulu dan industri hilir.

Perbaikan kebijakan impor juga menjadi concern API. Menurut Jemmy, perlu ada kebijakan ketat berupa kewajiban menyertakan perizinan impor bagi importir yang mengimpor melalui Pusat Logistik Berikat (PLB), Gudang Berikat (GB), dan Free Trade Zone (FTZ). Apalagi dari pengalaman sebelumnya, kemudahan impor produk TPT melalui PLB, GB, dan FTZ sering kali disalahgunakan untuk membanjiri pasar domestik dengan produk impor.

"Pada akhirnya, dalam upaya pemulihan ekonomi Indonesia, diperlukan kebijakan tidak hanya jangka pendek, tetapi juga jangka panjang. Momentum pandemi dan juga produk RPP seharusnya mendorong lebih besar upaya perbaikan struktural ekonomi Indonesia melalui reindustrialisasi. Tanpa kekuatan dari industri manufaktur, pemulihan ekonomi akan sangat terbatas ke depan," tutup Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif CORE Indonesia.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: