Redam Pengunjuk Rasa, Polisi Myanmar Mulai Berani Gunakan Peluru Karet
Polisi Myanmar menembakkan peluru karet ke arah pengunjuk rasa di ibu kota Nay Pyi Taw, yang tetap melakukan aksi demonstrasi pada hari keempat, dan tak mengindahkan peringatan militer.
Polisi juga menggunakan meriam air untuk membubarkan ribuan demonstran dan saksi mata mengatakan ia menyaksikan tembakan di udara untuk membubarkan pengunjuk rasa. Namun sejumlah laporan yang menyebutkan penggunaan peluru tak bisa dipastikan.
Baca Juga: Selandia Baru Setop Hubungan dan Larang Kunjungan ke Myanmar, Ada Apa?
Seorang perempuan dikabarkan dirawat rumah sakit dalam kondisi kritis akibat luka di kepala. BBC Myanmar mendapatkan informasi paling tidak dua pengunjuk rasa luka parah.
Informasi dari petugas medis yang tidak disebut namanya menyatakan dua orang ini mengalami luka di kepala dan dada. Tetapi tidak jelas mengapa mereka bisa sampai terluka.
Seorang dokter dari satu klinik mengatakan ia merawat tiga pasien dengan luka-luka yang dicurigai akibat tembakan peluru karet. Mereka kini telah dipindahkan ke rumah sakit utama, kata dokter itu kepada kantor berita Reuters.
Larangan orang berkumpul dan jam malam diterapkan di sejumlah kota dan pemimpin militer Min Aung Hlaing memperingatkan tak ada yang berada di atas hukum.
Ia tidak mengeluarkan ancaman langsung kepada demonstran, tetapi TV negara memperingatkan bahwa "langkah akan diambil" terhadap mereka yang melanggar hukum, menyusul pidato Hlaing.
Militer melarang pertemuan lebih dari lima orang di kota Yangon dan Mandalay dan menerapkan aturan jam malam.
Aturan diterapkan setelah tiga hari berturut-turut protes massal.
"Mereka melepaskan tembakan peringatan ke langit dua kali, kemudian mereka menembakkan peluru karet [ke pengunjuk rasa]," kata seorang warga kepada kantor berita AFP.
Sementara itu, pemimpin kudeta di Myanmar untuk pertama kalinya menyampaikan pidato yang disiarkan di televisi, dalam upaya membenarkan tindakan militer.
Apa yang terjadi saat protes?
Di hari keempat demonstrasi massal, demonstran berhadapan dengan polisi yang menembakkan meriam air di kota Bago.
Meriam air juga berulang kali ditembakkan ke kerumunan pengunjuk rasa di Nay Pyi Taw, yang menolak mundur, menurut kantor berita Reuters.
"Akhiri kediktatoran militer", teriak para demonstran.
BBC Myanmar melaporkan pengunjuk rasa di Nay Pyi Taw bahkan didukung seorang petugas polisi. Para pengunjuk rasa telah meminta petugas polisi untuk bergabung dengan tujuan mereka.
Seorang analis politik, Kin Zaw Win, sebelumnya mengatakan kepada media, Al Jazeera bahwa polisi lebih dekat ke Aung San Suu Kyi dibandingkan dengan militer dan akan lebih "mungkin berdiri dengan pengunjuk rasa" daripada tentara.
Di kota-kota lain di Myanmar, pengunjuk rasa terus berkumpul, dengan sejumlah foto menunjukkan kerumunan besar di beberapa tempat.
Di hari Senin, demonstrasi juga diikuti para guru, pengacara, pejabat bank dan pegawai pemerintah yang berkumpul di kota-kota di seluruh negeri. Beberapa demonstran dilaporkan cedera, tetapi tidak ada laporan soal kekerasan.
Wartawan BBC Nyein Chan Aye, di Yangon, mengatakan para biksu Buddha, anggota komunitas Muslim minoritas, pesepakbola top, dan bintang film dan musisi juga telah bergabung dalam protes anti-kudeta, yang menurutnya akan menjadi lebih terorganisir seiring berjalannya waktu.
Apa tanggapan militer?
Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan bahwa pemilihan umum pada November berlangsung tidak adil. Pemilu itu dimenangkan telak oleh partai pimpinan Aung San Suu Kyi - kini dalam tahanan militer.
Aksi militer tersebut memicu unjuk rasa besar-besaran yang memasuki hari ketiga pada Senin (8/2/2021), disertai mogok kerja di seluruh negeri.
Menanggapi protes massal, militer mulai memberlakukan pembatasan di sejumlah wilayah, termasuk larangan keluar rumah dan pembatasan kerumunan.
Suu Kyi dan pemimpin senior Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (National League for Democracy, NLD), termasuk Presiden Win Myint, telah ditempatkan dalam tahanan rumah.
Departemen Luar Negeri AS berkata pada Senin (8/2/2021) bahwa mereka berusaha menemui Suu Kyi namun permintaannya ditolak. AS mengatakan mereka berpihak pada rakyat Myanmar dalam menjalankan hak mereka untuk berkumpul dan berunjuk rasa dengan damai.
Seorang penasihat ekonomi Suu Kyi, Sean Turnell, yang merupakan warga Australia, juga ditahan dan pada Senin kemarin keluarganya mengunggah pernyataan di Facebook yang meminta agar ia segera dilepaskan.
Pidato Jenderal Min Aung Hlaing lebih fokus pada alasan kudeta daripada ancaman terhadap para pengunjuk rasa.
Dia berkata komisi pemilihan telah gagal menyelidiki penyimpangan terkait daftar pemilih pada pemilu bulan November dan tidak mengizinkan kampanye yang adil.
Komisi telah mengatakan bahwa tidak ada bukti yang mendukung klaim tentang kecurangan masif.
Jenderal Min Aung Hlaing yang mengenakan seragam militer, berjanji akan mengadakan pemilihan baru dan menyerahkan kekuasaan kepada pemenangnya. Komisi pemilihan yang baru "direformasi" akan mengawasinya.
Dia juga menyatakan pemerintahannya akan "berbeda" dari rezim militer selama 49 tahun yang berakhir pada 2011, dan yang mengawal represi brutal terhadap pengunjuk rasa 1988 dan 2007.
Dia berbicara tentang mencapai "demokrasi yang benar dan disiplin", frase yang menuai cemoohan dari beberapa penentang kudeta di media sosial.
Dia juga mengatakan kepada warga untuk "bertindak berdasarkan fakta yang benar dan tidak mengikuti perasaan Anda sendiri".
Sang jenderal tidak memberikan ancaman langsung kepada pengunjuk rasa, hanya mengatakan bahwa tidak ada yang di atas hukum.
Namun telah terjadi tindakan keras di beberapa daerah, dengan penerapan jam malam dari pukul 20:00 sampai 04:00 dan pembatasan kerumunan hingga maksimal lima orang, di sebagian kota Yangon dan Mandalay, serta sejumlah daerah lain.
Sebelumnya, sebuah siaran di TV pemerintah memperingatkan "tindakan harus diambil, berdasarkan hukum ... terhadap pelanggaran yang mengganggu, mencegah, dan menghancurkan stabilitas negara, keamanan publik, dan supremasi hukum".
Phil Robertson, wakil direktur Asia dari Human Rights Watch, mengatakan: "Sebagai pemerintahan [hasil] kudeta militer yang telah menginjak-injak demokrasi dan supremasi hukum, tidak masuk akal bagi mereka untuk mengklaim bahwa mereka berhak melakukan 'tindakan hukum' terhadap pengunjuk rasa damai. "
Diketahui, ribuan orang berkumpul di Yangon dan Mandalay, sementara meriam air telah disiagakan di Ibu Kota Nay Pyi Taw untuk mengantisipasi puluhan ribu pendemo.
Aksi ini terjadi sehari setelah rakyat Myanmar menggelar demo terbesar dalam lebih dari satu dekade.
Pada Senin (8/2/2021) pagi, puluhan ribu orang telah berkumpul di Nay Pyi Taw. Aksi serupa digelar di sejumlah kota lainnya yang diikuti pendemo dalam jumlah signifikan, sebagaimana dilaporkan BBC Burmese.
Para demonstran mencakup para guru, pengacara, pegawai bank, hingga pegawai negeri sipil.
Sekitar 1.000 guru telah berpawai dari berbagai penjuru Yangon menuju Pagoda Sule di pusat kota tersebut.
Di Nay Pyi Taw, kepolisian menggunakan meriam air untuk menghalau para pendemo dan sudah ada beragam laporan mengenai sejumlah orang yang cedera.
Sebuah video daring memperlihatkan para pendemo mengusap mata mereka dan saling membantu setelah disemprot meriam air.
Kyaw Zeyar Oo, seorang warga Myanmar yang mengabadikan video itu, mengatakan ada dua kendaraan meriam air yang menghampiri para demonstran—walau mereka berunjuk rasa secara damai dan tidak melintasi garis polisi.
"Kendaraan-kendaraan itu menyeruak ke tengah kerumunan dan menyemprotkan meriam air. Tiada peringatan yang dikeluarkan terlebih dahulu," katanya kepada BBC.
Dia menambahkan bahwa pada Senin (8/2/2021) sore, situasinya "benar-benar tenang" namun kendaraan meriam air masih disiagakan.
Tiada laporan lainnya mengenai aksi kekerasan.
"Ini adalah hari kerja, tapi kami tidak akan bekerja bahkan jika gaji kami dipotong," kata seorang buruh pabrik garmen berusia 28 tahun, Hnin Thazin, kepada kantor berita AFP.
Sehari sebelumnya, pada Minggu (7/2/2021), puluhan ribu orang melakukan protes di kota Yangon, untuk menentang kudeta, gerakan yang tidak bisa dibendung oleh pemblokiran internet yang diberlakukan oleh penguasa militer.
"Kami tidak ingin kediktatoran militer," teriak banyak demonstran.
Banyak yang memegang foto pemimpin yang ditahan Aung San Suu Kyi dan mengenakan pakaian merah, warna partai Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Suu Kyi. Mereka juga menuntut agar Suu Kyi dibebaskan.
Dia tidak terlihat lagi sejak tentara menggulingkan pemerintahannya Senin (01/02) lalu.
Adapun demonstrasi yang lebih kecil dilaporkan terjadi di Kota Mawlamine dan Mandalay.
Meskipun unjuk rasa dan penentangan terhadap kudeta semakin luas, sejauh ini militer sama sekali belum mengeluarkan pernyataan.
Penguasa militer telah menempati ibu kota, Nay Pyi Daw, dan sejauh ini menghindari keterlibatan langsung dengan para pengunjuk rasa.
Beberapa gambar dan video protes telah diunggah ke internet, meskipun penguasa militer telah memutus internet sejak hari Sabtu (6/2/2021). Sebagian layanan internet hingga Minggu malam (7/2/2021) waktu setempat dilaporkan berangsur pulih meskipun belum total.
Sebelumnya, militer juga memblokir akses ke Facebook, Twitter, dan Instagram untuk menghalangi orang-orang bergerak untuk protes.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: