Yang Dilihat Pengamat di Tengah Kemelut Demokrat: Akankah Muncul Matahari Kembar?
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI), Firman Noor, menyoroti terkait kemelut yang terjadi di Partai Demokrat. Menurutnya, konflik di Partai Demokrat dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu perspektif intervensi dan internal.
"Kalau perspektif pertama itu, ini intinya adalah nuansa kental kepentingan negara. Sementara, yang kedua ini seputar pengelolaan partai yang dianggap penuh dengan nuansa dinasti dan pelaksanaan dari satu pagelaran kongres yang bermasalah," kata Firman dalam sebuah diskusi yang digelar secara daring, Sabtu (27/2/2021).
Baca Juga: AHY Buang Pembelot dari Demokrat, Pengamat: Buat Apa Pelihara Duri dalam Daging?
Terkait perspektif intervensi, Firman menyebut dalam sejarah kepolitikan di Indonesia, tidak dimungkiri adanya kenyataan bahwa negara melakukan intervensi baik pada saat sebelum terbentuknya sebuah partai, seperti yang terjadi ada di awal orde baru, maupun pada saat suatu partai itu eksis. Bahkan, negara juga kerap melakukan intervensi ketika sebuah partai tengah berkonflik.
"Pola intervensi ini ada yang bersifat langsung, langsung diintervensi oleh negara, diganti oleh negara, ada yang melalui proxy intervensi ini. Jadi ada dua varian, langsung dan proxy, proxy ini bisa secara halus memainkan instrumen legal formal, atau pendanaan," ujarnya.
Selain perspektif intervensi, Firman melihat perspektif internal juga tak kalah menarik. Ia menguraikan, ada tiga model konflik internal yang biasa terjadi di suatu partai. Pertama adalah struktural versus struktural.
"Jadi, pertarungan antara orang-orang yang ada di pihak kepengurusan, misalnya SDA (Surya Dharma Ali) dengan Romy (Romahurmuziy), Gus Dur dengan Matori (Abdul Jalil). Di Golkar juga seperti itu," terangnya.
Kemudian model konflik kedua yaitu struktural versus nonstruktural atau individual. Hal serupa pernah terjadi antara Fahri Hamzah dengan PKS. Kemudian yang ketiga yaitu model konflik struktural versus kolektif nonstruktural.
"Saya kira Demokrat sekarang ini cenderung versi yang ketiga," tuturnya.
Imbas dari konflik tersebut akan berujung pada faksionalisasi. Namun, dampak rusak yang dimunculkan model konflik struktural versus kolektif nonstruktural menurutnya tidak akan seberat seperti struktural versus struktural.
"Kalau struktural versus struktural itu berat, itu jauh punya potensi sifatnya lebih cepat, lebih me-nasional dan dampaknya bisa sangat panjang," jelasnya.
Dia menambahkan, dalam konflik sebuah partai akan ada pihak yang menguat karena mendapat dukungan dari pihak eksternal yang berujung adanya kepengurusan ganda. Namun, jika kalah dalam pengadilan, mengarah pada terbentuknya partai baru atau masuk partai lain.
"Apakah nanti Demokrat dengan genderang yang makin keras ditabuhkan ini akan memunculkan hal yang sama kepengurusan ganda," ucapnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum