Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi lonjakan impor baja asal China. Diduga, kenaikan ini lantaran praktik banting harga. Selain menyebabkan unfair trade, kejadian ini bisa mengancam industri baja dalam negeri.
Di awal pandemi Covid-19, China mengalami penurunan produktivitas baja. Tercatat, impor baja dari Negeri Tirai Bambu pun susut 40 persen di awal tahun lalu. Faktor lain yang menyebabkan menurunnya impor baja China di Indonesia, karena adanya PSBB, kelangkaan kontainer dan peran pemerintah.
Baca Juga: Ambil Barang dari China, Pejabat Ekspor-Impor Korut Langsung Dihukum Mati Kim Jong-un
Pasca sukses menangani pandemi, industri baja China kembali bergairah. Data BPS, lonjakan impor justru terjadi di semester kedua, tepatnya Juli 2020. Kemudian meroket hingga 166 persen pada Desember 2020. Memasuki 2021, tepatnya di bulan Februari, angka kenaikan impor kian bertambah mencapai 36 persen, yang berasal dari China dan Vietnam.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bima Yudistira mengatakan, volume impor ini dipicu adanya dugaan praktik banting harga. Menurutnya, ada sejumlah instrumen yang bisa digunakan pemerintah dan produsen baja dalam negeri untuk menekan angka impor.
"Perlu diselidiki, apakah kenaikan impor baja lapis aluminium dari China mengandung praktik dumping atau persaingan usaha yang tidak sehat. Jika ditemukan praktik dumping, misalnya pemerintah China mensubsidi ekspor baja ke Indonesia dengan berbagai fasilitas seperti insentif produksi hingga tax rebate untuk ekspor, maka bisa dikenakan bea masuk anti dumping," paparnya kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (1/5).
Instrumen lainnya, pemerintah bisa mendorong sertifikasi wajib tertentu produk impor baja. Soal penggunaan baja impor, Bhima menyebut masih bisa dibatasi, dimulai dari proyek konstruksi pemerintah pusat maupun daerah. Caranya, dengan memperbesar porsi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).
"Cara ini efektif untuk mendorong produsen lokal masuk ke pengadaan barang jasa proyek pemerintah. Misalnya di sektor konstruksi perumahan bisa didorong porsi lokal baja lapis aluminium seng. Atau bisa juga di proyek BUMN," usul Bhima.
Anggota Komisi VI DPR Achmad Baidowi menyebut, impor baja murah mengancam industri nasional. Ia khawatir multiplier effect yang ditimbulkan. Seperti gulung tikar dan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.
Baidowi meminta pemerintah bertindak, memberi perlindungan bagi industri baja nasional, sekaligus menyelamatkan puluhan ribu karyawannya.
"Ini yang harus diperhatikan pemerintah. Karena tenaga kerja di industri baja nasional tidak sedikit. Jangan sampai mereka mati di lumbung sendiri," pintanya.
Agar tidak terlambat, Baidowi menganggap perlindungan tersebut menjadi salah satu yang harus dipertimbangkan pemerintah. Baik dalam hal penerapan antidumping maupun safeguard. Tentu dengan memperhatikan ketentuan organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO).
Sebagaimana sektor industri lain, industri baja merupakan penopang ekonomi nasional, untuk itu, pemerintah harus mengefektifkan produksi dan menekan laju PHK.
"Jangan sampai di saat sulit karena pandemi ini, ditambah PHK yang masif karena baja impor. Kalau itu terjadi, makin remuk ekonomi kita," kata Baidowi.
Sekadar informasi, kapasitas industri Baja Lapis Aluminium Seng (BjLAS) dalam negeri yang bertambah hampir 250 ribu ton di akhir 2019, dianggap sudah mencukupi kebutuhan pasar tahun 2020, bahkan over-supply. Sayangnya, impor tetap berkontribusi 39 persen.
Soal investasi, nilai industri BjLAS sudah mencapai 1 miliar dolar AS. Setidaknya, hal ini dapat menjadi konsiderasi pemerintah untuk dapat disembuhkan, dilindungi, dan diberikan kesempatan untuk merencanakan bisnis jangka panjang yang berpotensi kepada penambahan investasi dalam negeri serta meningkatkan neraca perdagangan Indonesia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Alfi Dinilhaq