Polemik materi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) terus menjadi sorotan publik. Dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, turut angkat bicara. Keduanya pun kompak menyerang KPK.
Dari NU, yang bicara Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU Rumadi Ahmad. Dia menyebut, TWK yang diperuntukkan kepada 1.351 pegawai KPK itu, cacat etik moral. Sebab, pertanyaannya aneh-aneh, seksis, rasis, diskriminatif, dan berpotensi melanggar HAM.
Rumadi lalu membeberkan beberapa soal aneh itu. Seperti, mengapa belum menikah? Masihkah punya hasrat? Mau nggak jadi istri kedua? Kalau pacaran ngapain aja? Kenapa anaknya sekolah di SDIT? Kalau shalat pakai qunut nggak? Islamnya Islam apa? Bagaimana kalau anaknya nikah beda agama?
Baca Juga: Mengintip 3 Aspek yang Jadi Tolak Ukur dalam Tes TWK Pegawai KPK
"Pertanyaan-pertanyaan ini ngawur, tidak profesional, dan mengarah kepada ranah personal (private affairs) yang bertentangan dengan Pasal 28 G Ayat (1) UUD 1945," tegasnya.
Dari cerita-cerita pegawai KPK, ia melihat, cara, materi dan waktu wawancara yang berbeda mirip screening atau Penelitian Khusus (Litsus) untuk menyaring orang-orang yang bebas dari paham PKI di era Orde Baru. Jadi, sama sekali tidak terkait wawasan kebangsaan, komitmen bernegara, apalagi kompetensi pemberantasan korupsi.
Atas hal ini, dia meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan mengusut tes TWK penyidik KPK ini. "Saya meminta kepada Presiden Jokowi untuk membatalkan TWK terhadap 1.351 pegawai KPK," ucapnya.
Dari Muhammadiyah, serangannya lebih keras. Salah satu yang disorot adalah pertanyaan 'bersedia lepas jilbab'. Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti menilai, pertanyaan itu bertentangan dengan HAM.
"Saya sangat menyayangkan kalau memang benar ada pertanyaan yang terkait dengan kesediaan melepas jilbab. Itu merupakan pertanyaan yang bertentangan dengan hak asasi dan ranah kehidupan pribadi," tegasnya.
Guru besar UIN Jakarta ini menegaskan, pertanyaan itu tidak ada hubungannya dengan wawasan kebangsaan. Baginya, pertanyaan itu justru berpotensi memecah belah bangsa. "Pertanyaan itu tendensius dan justru berpotensi memecah belah bangsa," tegasnya.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PP Muhammadiyah bahkan akan segera mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kepala Bidang Litigasi LBH PP Muhammadiyah Gufroni mengaku sudah menawarkan pendampingan serta bantuan hukum kepada 75 pegawai KPK yang diduga sengaja dinyatakan gagal TWK. Padahal, ke-75 itu merupakan orang-orang yang garang dalam memberantas korupsi. "Kami dari bagian masyarakat sipil siap melakukan bantuan hukum,” ujar Ghufroni.
Melihat kondisi ini, KPK berusaha meredam polemik. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron memastikan, tak ada pegawai yang akan diberhentikan karena tak lolos TWK. Pihaknya mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebut proses peralihan status menjadi ASN ini tak boleh merugikan hak pegawai.
Baca Juga: Buruh China Masuk, Mudik Dilarang, Politikus Ini Biasanya Kalem, Langsung Auto Beringas
"Kami akan perjuangkan agar proses peralihan pegawai KPK ke ASN ini sesuai penegasan MK," kata Ghufron, sebagaimana dikutip dari Antara, kemarin.
Ia merujuk putusan MK, Selasa (4/5), terkait judicial review UU No.19 Tahun 2019 tentang KPK. Salah satu pokoknya menyatakan bahwa peralihan pegawai KPK menjadi ASN. "Apa pun prosesnya, tidak boleh merugikan pegawai," tegasnya.
Di tengah gonjang-ganjing TWK pegawai KPK, sempat beredar potongan surat yang diteken Ketua KPK Firli Bahuri perihal penonaktifan 75 pegawai yang tidak lolos TWK. Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menyayangkan beredarnya surat tersebut. Namun, ia mengaku belum dapat memastikan kebenarannya. "Kami akan melakukan pengecekan keabsahan potongan surat tanpa tanggal dan cap kedinasan yang beredar tersebut," kata Ali, dalam keterangannya, kemarin.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti