China Genjot Lagi Penduduknya, tapi Kritikus Keras Singgung Populasi di Xinjiang
Pada saat pemerintah China berusaha mati-matian untuk menaikkan angka kelahiran, sterilisasi di wilayah tersebut melonjak menjadi 243 per 100.000 orang pada tahun 2018, menurut dokumen resmi pemerintah yang dirujuk dalam sebuah laporan oleh peneliti Xinjiang Adrian Zenz. Itu jauh lebih tinggi dari tingkat 33 per 100.000 orang untuk seluruh negeri.
Dan sementara penggunaan alat kontrasepsi IUD turun di China antara tahun 2016 dan 2018, Zenz mengutip dokumen yang menunjukkan di Xinjiang meningkat menjadi 963 per 100.000 orang.
Perempuan Uyghur yang telah meninggalkan Xinjiang mengatakan bahwa mereka menjadi sasaran kontrasepsi paksa dan sterilisasi.
Dalam laporannya, Zenz mengutip arahan kebijakan resmi pemerintah China mulai tahun 2017 yang menyerukan para administrator untuk "menyerang keras perilaku yang melanggar (kebijakan) keluarga berencana." Sejak tahun itu, daerah minoritas memulai "kampanye khusus untuk mengendalikan pelanggaran pengendalian kelahiran".
Seorang dokter etnis Uyghur yang melarikan diri ke Turki mengatakan pada tahun 2020 bahwa dari 300 wanita Uyghur yang diasingkan yang dia periksa dari Xinjiang, sekitar 80 telah disterilkan. Banyak dari mereka bahkan tidak tahu bahwa mereka telah menjalani prosedur tersebut.
Pemerintah China tidak menyebut minoritas, termasuk Uyghur, dalam pelonggaran kebijakan tiga anak, dan pihak berwenang secara konsisten membantah tuduhan kontrasepsi paksa dan sterilisasi.
Media yang dikelola pemerintah menyalahkan tingkat kelahiran Xinjiang yang sebelumnya tinggi pada ekstremisme agama, dan melukiskan penurunan kesuburan sebagai kemenangan bagi hak-hak perempuan.
Para ahli mengatakan tidak mungkin aturan itu akan dilonggarkan untuk minoritas dalam waktu dekat.
"Jika Anda mencabut pembatasan kelahiran secara universal, mereka akan kehilangan pembenaran mereka untuk memperketat kebijakan pengendalian kelahiran terhadap sektor-sektor tertentu dari masyarakat China yang tidak mereka sukai," kata Carl Minzner, profesor hukum di Universitas Fordham.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: