Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

KPPA: Pemberian Susu Kental Manis Berpotensi Langgar Hak Anak

KPPA: Pemberian Susu Kental Manis Berpotensi Langgar Hak Anak Asdep Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan Kemen PPPA, Entos Zainal. | Kredit Foto: Kemen PPPA
Warta Ekonomi, Jakarta -

Upaya bersama menjaga anak-anak agar tidak menjadi korban stunting perlu dilakukan. Hak anak harus diberikan secara penuh termasuk hak atas makanan bergizi. Pemberian makanan tidak bergizi kepada anak seperti susu kental manis berpotensi melanggar hak anak.

Hal ini mengemuka dalam diskusi media yang diselenggarakan Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (Kopmas) bertema Lingkaran Setan Gizi Buruk di Indonesia. Mendapatkan hak kesehatan dan terhindar dari stunting merupakan salah satu hak anak yang diratifikasi dalam konvensi hak anak tahun 1989.

Baca Juga: Memprihatinkan, Masih Ada Ibu Berikan SKM untuk Bayi

Dr. Entos Zainal ,SP, MPHM, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan Kemen PPPA yang hadir sebagai pemateri menjelaskan isu kesehatan adalah yang sangat mempengaruhi bagaimana perkembangan anak dan remaja disaat dewasanya kelak.

"Isu kesehatan yang paling berpengaruh pada anak dan remaja adalah stunting, malnutrisi, anemia, penyakit tidak menular, kesehatan reproduksi, HIV/ AIDS, kekerasan, rokok dan narkoba," jelas Entos Zainal.

Di antara permasalahan di atas, stunting masih menyisakan pekerjaan rumah yang berat, baik bagi pemerintah dan juga masyarakat. Sebab, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan penurunan stunting pada tahun 2024 hingga 14%, sementara saat ini angka stunting masih berkisar 27%.

Demi mempercepat target penurunan prevalensi stunting tersebut, Kementerian PPPA mengajak seluruh elemen masyarakat ikut berperan mengkampanyekan ASI ekslusif sebagai bekal anak tumbuh dengan status gizi yang baik. 

"Kita harus jaga betul agar susu kental manis tidak diberikan kepada bayi. Pemenuhan hak anak terlanggar bila susu kental manis terus diberikan sebagai minuman pengganti susu untuk anak," lanjut Entos.

Ketua Bidang Advokasi Kopmas R Marni memaparkan temuan-temuan Kopmas terkait permasalahan gizi anak selama 2020-2021.

"Permasalahan gizi anak dan remaja, jika ditarik benang merahnya, semua bersumber pada keluarga. Bagaimana kebiasaan makan anak, bagaimana gaya hidup anak saat remaja hingga dewasa, apakah abak-anak tumbuh dengan gizi yang cukup atau malah beresiko anemia, ini tergantung dari bagaimana perlakuan keluarga terhadap anak. Dengan kata lain, orang tua yaitu ibu dan bapak harus paham benar mengenai tumbuh kembang anak," jelas Marni.

Dalam temuan Kopmas baru-baru ini, saat mengadvokasi gizi untuk masyarakat di Ciboleger dan Ciemes, Marni mengungkapkan bahkan masyarakat yang selama ini dikenal hidup dengan kearifan lokal, mengkonsumsi makanan yang bersumber dari alam pun beresiko gizi buruk.

"Jika dulu masyarakat Baduy ini identik dengan hidup tanpa teknologi, sekarang mereka sudah akrab dengan gadget dan teevisi. Dampaknya adalah, anak-anak Baduy yang biasanya makan singkong, sayur dan ikan-ikanan, kini terbiasa makan sosis, baso, nugget dan pagi sarapan dengan sereal atau susu kental manis. Bahayanya adalah, orang tua tidak paham bahwa apa yang dimakan anak-anak mereka tidak sesehat menu dari ladang yang dahulu biasa mereka konsumsi," papar Marni.

Baca Juga: 14 Daerah Rawan Stunting, Pemprov Jabar Gercep Lakukan Ini

"Ada hal positif dari mulai terbukanya mereka terhadap modernisasi, seperti bidan dan puskesmas yang sudah bisa memberikan layanan kesehatan bahkan imunisasi. Tapi yang masih kami sayangkan adalah, pemeriksaan kesehatan ini masih minim edukasi gizi. Bahkan di Ciemes kami justru menemukan bidan yang tidak paham kandungan susu kental manis," pungkas Marni.

Menanggapi hal itu, Dr. Wiwin Hendriani, M.Si. dari Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia (HIMPSI) mengatakan persoalan kental manis masih menyisakan pekerjaan yang panjang bagi pemerintah.

"Iklan susu kental manis sebagai sumber gizi tunggal memang sudah di hapus, tapi bukan berarti dengan iklannya di stop kebiasaan masyarakat langsung berbalik, tidak mungkin seperti itu. Maka yang harus dilakukan adalah mengkoreksi dengan informasi yang benar. Iklan yang salah harus diperbaiki dengan iklan yang menampilkan informasi yang benar," tegas Wiwin Hendriani.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: