Tengok saja Telkom lewat IndiHome yang sukses menekuni bisnis internet ini. Hingga akhir Maret 2021, total pelanggan IndiHome sudah mencapai 8,15 juta atau melonjak sebanyak 12,3% (yoy).
Bahkan sumbangan pendapatan IndiHome bisa dibilang naik signifikan, dari 14,8% di tahun 2019 menjadi 18,7% dari total pendapatan perseroan konsolidasi tahun 2020. Margin EBITDA IndiHome juga meningkat dari 38,9% menjadi 45,2% pada tahun 2020.
Plus-Minus Keroyokan Bisnis Internet
Huda menilai masuknya BUMN ke bisnis internet sebagai sesuatu yang positif karena akan menambah jumlah pemain sehingga akan terbentuk pasar yang sangat kompetitif.
"Tidak masalah untuk BUMN lain masuk ke bisnis internet, selama tidak mengganggu pasar. Kalau saya lihat, itu semakin banyak pemain semakin bagus. Itu akan membentuk pasar yang sangat kompetitif," bebernya.
Menurutnya, penambahan jumlah pemain akan membuat terjadinya penurunan harga dan peningkatan kualitas pelayanan sehingga situasi ini akan semakin menguntungkan konsumen.
Terlebih, salah satu pelaku BUMN yang terjun ke bisnis internet adalah PLN yang memiliki tiang kabel tersendiri. Dengan demikian, PLN memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menawarkan kualitas yang lebih baik dengan cakupan yang lebih luas melalui kabel milik mereka.
Ia mengungkapkan besaran tarif internet yang ditawarkan PLN tergolong murah sehingga ini bisa menjadi titik pengaturan strategi bagi pemain yang sudah eksis di dunia internet kabel.
"Nah itu bisa sebenarnya meningkatkan strategi. Seperti First Media, Indovision, IndiHome, kan harus mengatur ulang dari sisi pelayanan dan harga. Bahkan warga banyak protes tuh ke IndiHome. Nah, ini harapannya IndiHome dan sebagainya bisa terlecutlah dengan kehadiran PLN ke bisnis internet," jelas Huda.
Lebih lanjut, Huda menjelaskan kehadiran BUMN ke sektor bisnis internet ini akan meningkatkan persaingan di sektor tersebut dan bisa mengancam para pemain lainnya. Akan tetapi, penilaian itu baru dapat dipastikan setelah melihat bagaimana persaingan pasar internet beberapa tahun ke depan.
"Itu akan dilihat dari sisi persaingan usahanya seperti apa dan akan terlihat jelas ketika nanti sudah berjalan 2-3 tahun. Apakah PLN itu akan menguntungkan dirinya sendiri atau persaingan akan menjadi semakin ketat," tuturnya.
Di sisi lain, kata Huda, BUMN akan menghadapi tantangan karena pada dasarnya bisnis internet bukan merupakan bisnis utama mereka. Pasalnya beberapa perusahaan BUMN yang turut menghadirkan layanan internet bukan perusahaan sektor teknologi komunikasi.
"Itu kan bukan core business mereka. Mereka harus ada konsekuensi keuntungan ke core business mereka seperti apa," papar Huda.
Heru pun tak menampik memang terdapat hal positif yang dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia dari bertambahnya pemain penyedia layanan internet, seperti kesempatan yang lebih banyak untuk memilih harga dan kualitas yang tersedia. Akan tetapi, jika pengaturan para pemain tidak disiapkan sejak awal, bisa menimbulkan hyper-competitive.
"Sementara pemainnya banyak, demand-nya mungkin tidak sebesar jumlah pemainnya. Karena kalau pemainnya melebihi demand, akhirnya pemainnya tidak semuanya sukses," jelas dia.
Meskipun runtuhnya pemain merupakan hal yang normal dalam industri bisnis, akan tetapi Heru tidak menyarankan untuk membiarkan situasi tersebut.
"Tapi kalau hyper-competitive ini sangat tidak bagus bagi industrinya itu sendiri," tuturnya.
Oleh sebab itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) harus menghitung jumlah pemain yang disesuaikan dengan ukuran dan kebutuhan dari sebuah kota atau provinsi.
Dia sampaikan, "di Jakarta berapa sih pemain yang ideal, Jawa Barat berapa, dan lain-lain. Itu harus diatur dari awal. Karena pemain ini kan juga harus dibina, harus hidup juga.“
Dengan demikian, merambaknya jumlah pemain penyedia layanan internet bisa saling menguntungkan berbagai pihak.
"Biar pemain yang memberikan layanan internet itu untung semua. Sementara di sisi satunya, pengguna juga dapat kualitas yang bersaing," ujarnya.
Saling Sinergi, Bukan Berkompetisi
Karenanya, Heru menilai seharusnya perusahaan BUMN saling mendukung sebagai ekosistem saja, bukan saling berbisnis di industri yang sama.
"Kalau saling memperkuat dalam hal sarana dan infrastruktur itu oke, tapi kalau saling bersaing saya kita tidak tepat," ujar Heru.
Dia mengatakan seharusnya bisnis internet dilakukan oleh perusahaan yang memang bergerak di bidang telekomunikasi.
"Bisnis internet ini baiknya dilakukan perusahaan BUMN yang bisnisnya memang telekomunikasi, dalam hal ini PT Telkom yang paling di depan. Jadi kalau ada perusahaan BUMN lain yang ingin berbisnis, harusnya jadi ekosistem saja, bukan berbisnis yang sama jualan internet baik retail maupun corporate pada masyarakat," tegasnya.
Menurutnya, keahlian perusahaan BUMN di sektornya masing-masing bisa dimanfaatkan untuk saling mendukung pengembangan ekosistem internet di Indonesia.
"Misal PLN kan punya tiang listrik, itu bisa jadi ekosistem untuk menempatkan jaringan ke rumah-rumah. Lalu Jasa Marga di sisi kiri kanannya masih ada tanah yang bisa dipakai untuk fiber optik, dan sebagainya," jelasnya.
Apalagi, lanjutnya, BUMN memiliki hak istimewa dengan kemudahan untuk membangun jaringan infrastruktur, tidak seperti para pelaku swasta. Oleh sebab itu, menurutnya akan lebih efisien jika BUMN lebih fokus mengembangkan layanan ke wilayah pedalaman atau 3T (terdepan, terluar, tetinggal).
"Karena kan kalau BUMN yang dikejar bukan untung, tapi agen pembangunan. Jadi kalau semuanya terjun kan juga enggak bagus," tambahnya.
Heru memandang seharusnya ada sinergi antara para perusahaan BUMN terkait dengan pelayanan internet agar tidak bersaing dari segi penjualan.
"Kalau bisa memang tidak bersaing dari segi penjualan, jadi semua berjualan layanan internet, tapi mungkin dibangun ekosistemnya, saling memperkuat, di mana yang di depannya itu tetap satu. Malulah kalau harus saling bersaing," tukasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rosmayanti
Editor: Cahyo Prayogo