Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Plus-Minus BUMN Keroyokan Garap Bisnis Internet

Plus-Minus BUMN Keroyokan Garap Bisnis Internet Kredit Foto: Agus Aryanto
Warta Ekonomi, Jakarta -

IndiHome milik PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk kini tak sendirian. Pasalnya, badan usaha milik negara (BUMN) yang tidak bergerak di bisnis telekomunikasi mulai keroyokan terjun ke bisnis layanan internet. Sebut saja PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) lewat Iconnet, Gasnet milik PT Perusahaan Gas Negara Tbk, dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk.

Iconnet sendiri diluncurkan sejak akhir Mei lalu oleh anak usaha PLN, PT Indonesia Conets Plus (ICON+). Layanan ini tersedia dalam berbagai pilihan, mulai dari kecepatan hingga 10 Mbps sampai 100 Mbps, dengan harga mulai dari Rp185.000 per bulan.

Baca Juga: Luncurkan Iconnet, PLN Resmi Rambah Bisnis Internet Rp185.000 per Bulan

Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, Iconnet merupakan upaya PLN mengoptimalkan aset yang selama ini belum terurus.

"Saat ini dengan hadirnya superapps, munculah ide bagaimana dengan adanya superapps ini kita bisa mengapitalisasi, memanfaatkan aset PLN yang tadinya tidak dikelola dengan baik jadi dikelola dengan baik," jelas Darmo secara virtual, Kamis (1/7/2021).

Lebih lanjut, layanan Iconnet juga merupakan salah satu wujud dari konsep digitalisasi organisasi PLN. Menurut Darmo, tanpa memaksimalkan teknologi, PLN tidak akan berkembang dalam melayani masyarakat.

"Karena kita tahu, pelayanan terhadap pelanggan PLN juga masih kurang baik. Modul kita masih terkotak-kotak, proses bisnis berbelit, di situlah muncul kepemimpinan Pak Dirut yang ingin agar ada digitalisasi organisasi," katanya.

Sementara PGN memiliki bisnis layanan internet bernama Gasnet di bawah PT PGAS Telekomunikasi Nusantara (PGASCOM). Dari laman gasnet.id, diketahui Gasnet rupanya sudah hadir selama tujuh tahun, memberikan layanan internet bagi perusahaan.

Adapun produk layanan mereka, tertulis mulai dari Gasnet Prime, Maxx, Gasplay, Gasnet Simple, Gasnet Plus, Gasnet On-Air, hingga Gasnet Synergy.

Lalu, PT Jasa Marga melalui anak usahanya PT Jasa Marga Related Business (JMRB), juga bakal merambah bisnis layanan internet. JMRB tidak masuk secara langsung pada bisnis layanan internet, tetapi menyediakan infrastruktur jaringan backbone fiber optic. JMRB akan membangun infrastruktur jaringan fiber optik untuk data internet di Pulau Jawa.

"PT JMRB sebagai anak usaha perseroan berusaha memanfaatkan semua potensi yang ada, salah satunya dengan memanfaatkan infrastruktur jalan tol milik perseroan yang merupakan infrastruktur jalan tol terpanjang di Pulau Jawa," kata Corporate Secretary Jasa Marga, Reza Febriano, dikutip dari keterbukaan informasi BEI, Selasa (29/6/2021).

Untuk pengembangan bisnis baru maupun besaran nilai investasi, dia menjelaskan hal tersebut saat ini masih dalam proses kajian dan penyusunan feasibility study secara internal. Meski begitu, implementasinya direncanakan dapat dimulai di kuartal IV-2021, atau selambatnya pada awal tahun 2022.

"Saat ini PT JMRB sedang dalam proses perencanaan serta kajian detail untuk persiapan menuju tahapan implementasi," ungkap Reza.

Lagi Naik Daun

Wajar jika para perusahaan pelat merah ini mulai berkompetisi di bisnis internet. Bisnis ini memang cukup menggiurkan karena kebutuhan masyarakat akan internet, terutama saat pandemi sekarang ini, melonjak drastis.

Laporan Survei APJII kuartal II-2020 menyebutkan, penetrasi internet di Indonesia sudah mencapai 73,7% atau 196,71 juta pengguna. Tak ayal, pandemi telah mengubah gaya hidup masyarakat menjadi serba digital, mulai dari bekerja, belajar, hingga berbelanja secara daring.

Sebanyak 29% responden dalam survei tersebut mengaku banyak memakai internet untuk berkomunikasi. Lalu, disusul bermedia sosial 24,7%, mengakses hiburan 9,7%, mengakses layanan public 7,9%, dan belanja online 4,8%.

Direktur Eksekutif ICT Heru Sutadi bilang bisnis internet memang sedang naik daun. Tak salah jika akhirnya banyak perusahaan berbondong-bondong masuk ke dalam bidang tersebut.

"Bisnis internet itu kan lagi booming, jadi memang banyak perusahaan berbondong-bondong masuk ke bisnis internet. Apalagi di pandemi ini orang akses internet dari perusahaan, rumah, perorangan, itu kan cukup tinggi," ungkap Heru kepada Warta Ekonomi, Senin (5/7/2021).

Serupa Heru, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda menilai wajar jika BUMN juga turun ke bisnis internet karena potensi di sektor tersebut sangat besar, terutama di masa pandemi.

"Kalau bagi perusahaan, ketika di tengah pandemi seperti ini sangat menguntungkan sekali kalau bisnis internet. Terlebih untuk penggunaan internet, masyarakat Indonesia kan getol banget," ujarnya saat dihubungi Warta Ekonomi, Rabu (7/7/2021).

Dia menjelaskan 58 persen masyarakat Indonesia mengonsumsi internet selama 2-8 jam per hari. Kemudian, sekitar 20 persen masyarakat Indonesia menggunakan internet lebih dari 8 jam per hari.

"Itu gambaran kasar pengguna internet itu seperti apa, dan itu sangat menguntungkan bagi siapa pun, termasuk dari sisi perusahaan BUMN," lanjutnya.

Tengok saja Telkom lewat IndiHome yang sukses menekuni bisnis internet ini. Hingga akhir Maret 2021, total pelanggan IndiHome sudah mencapai 8,15 juta atau melonjak sebanyak 12,3% (yoy).

Bahkan sumbangan pendapatan IndiHome bisa dibilang naik signifikan, dari 14,8% di tahun 2019 menjadi 18,7% dari total pendapatan perseroan konsolidasi tahun 2020. Margin EBITDA IndiHome juga meningkat dari 38,9% menjadi 45,2% pada tahun 2020.

Plus-Minus Keroyokan Bisnis Internet

Huda menilai masuknya BUMN ke bisnis internet sebagai sesuatu yang positif karena akan menambah jumlah pemain sehingga akan terbentuk pasar yang sangat kompetitif.

"Tidak masalah untuk BUMN lain masuk ke bisnis internet, selama tidak mengganggu pasar. Kalau saya lihat, itu semakin banyak pemain semakin bagus. Itu akan membentuk pasar yang sangat kompetitif," bebernya.

Menurutnya, penambahan jumlah pemain akan membuat terjadinya penurunan harga dan peningkatan kualitas pelayanan sehingga situasi ini akan semakin menguntungkan konsumen.

Terlebih, salah satu pelaku BUMN yang terjun ke bisnis internet adalah PLN yang memiliki tiang kabel tersendiri. Dengan demikian, PLN memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menawarkan kualitas yang lebih baik dengan cakupan yang lebih luas melalui kabel milik mereka.

Ia mengungkapkan besaran tarif internet yang ditawarkan PLN tergolong murah sehingga ini bisa menjadi titik pengaturan strategi bagi pemain yang sudah eksis di dunia internet kabel.

"Nah itu bisa sebenarnya meningkatkan strategi. Seperti First Media, Indovision, IndiHome, kan harus mengatur ulang dari sisi pelayanan dan harga. Bahkan warga banyak protes tuh ke IndiHome. Nah, ini harapannya IndiHome dan sebagainya bisa terlecutlah dengan kehadiran PLN ke bisnis internet," jelas Huda.

Lebih lanjut, Huda menjelaskan kehadiran BUMN ke sektor bisnis internet ini akan meningkatkan persaingan di sektor tersebut dan bisa mengancam para pemain lainnya. Akan tetapi, penilaian itu baru dapat dipastikan setelah melihat bagaimana persaingan pasar internet beberapa tahun ke depan.

"Itu akan dilihat dari sisi persaingan usahanya seperti apa dan akan terlihat jelas ketika nanti sudah berjalan 2-3 tahun. Apakah PLN itu akan menguntungkan dirinya sendiri atau persaingan akan menjadi semakin ketat," tuturnya.

Di sisi lain, kata Huda, BUMN akan menghadapi tantangan karena pada dasarnya bisnis internet bukan merupakan bisnis utama mereka. Pasalnya beberapa perusahaan BUMN yang turut menghadirkan layanan internet bukan perusahaan sektor teknologi komunikasi.

"Itu kan bukan core business mereka. Mereka harus ada konsekuensi keuntungan ke core business mereka seperti apa," papar Huda.

Heru pun tak menampik memang terdapat hal positif yang dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia dari bertambahnya pemain penyedia layanan internet, seperti  kesempatan yang lebih banyak untuk memilih harga dan kualitas yang tersedia. Akan tetapi, jika pengaturan para pemain tidak disiapkan sejak awal, bisa menimbulkan hyper-competitive.

"Sementara pemainnya banyak, demand-nya mungkin tidak sebesar jumlah pemainnya. Karena kalau pemainnya melebihi demand, akhirnya pemainnya tidak semuanya sukses," jelas dia.

Meskipun runtuhnya pemain merupakan hal yang normal dalam industri bisnis, akan tetapi Heru tidak menyarankan untuk membiarkan situasi tersebut.

"Tapi kalau hyper-competitive ini sangat tidak bagus bagi industrinya itu sendiri," tuturnya.

Oleh sebab itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) harus menghitung jumlah pemain yang disesuaikan dengan ukuran dan kebutuhan dari sebuah kota atau provinsi.

Dia sampaikan, "di Jakarta berapa sih pemain yang ideal, Jawa Barat berapa, dan lain-lain. Itu harus diatur dari awal. Karena pemain ini kan juga harus dibina, harus hidup juga.“

Dengan demikian, merambaknya jumlah pemain penyedia layanan internet bisa saling menguntungkan berbagai pihak.

"Biar pemain yang memberikan layanan internet itu untung semua. Sementara di sisi satunya, pengguna juga dapat kualitas yang bersaing," ujarnya.

Saling Sinergi, Bukan Berkompetisi

Karenanya, Heru menilai seharusnya perusahaan BUMN saling mendukung sebagai ekosistem saja, bukan saling berbisnis di industri yang sama.

"Kalau saling memperkuat dalam hal sarana dan infrastruktur itu oke, tapi kalau saling bersaing saya kita tidak tepat," ujar Heru.

Dia mengatakan seharusnya bisnis internet dilakukan oleh perusahaan yang memang bergerak di bidang telekomunikasi.

"Bisnis internet ini baiknya dilakukan perusahaan BUMN yang bisnisnya memang telekomunikasi, dalam hal ini PT Telkom yang paling di depan. Jadi kalau ada perusahaan BUMN lain yang ingin berbisnis, harusnya jadi ekosistem saja, bukan berbisnis yang sama jualan internet baik retail maupun corporate pada masyarakat," tegasnya.

Menurutnya, keahlian perusahaan BUMN di sektornya masing-masing bisa dimanfaatkan untuk saling mendukung pengembangan ekosistem internet di Indonesia.

"Misal PLN kan punya tiang listrik, itu bisa jadi ekosistem untuk menempatkan jaringan ke rumah-rumah. Lalu Jasa Marga di sisi kiri kanannya masih ada tanah yang bisa dipakai untuk fiber optik, dan sebagainya," jelasnya.

Apalagi, lanjutnya, BUMN memiliki hak istimewa dengan kemudahan untuk membangun jaringan infrastruktur, tidak seperti para pelaku swasta. Oleh sebab itu, menurutnya akan lebih efisien jika BUMN lebih fokus mengembangkan layanan ke wilayah pedalaman atau 3T (terdepan, terluar, tetinggal).

"Karena kan kalau BUMN yang dikejar bukan untung, tapi agen pembangunan. Jadi kalau semuanya terjun kan juga enggak bagus," tambahnya.

Heru memandang seharusnya ada sinergi antara para perusahaan BUMN terkait dengan pelayanan internet agar tidak bersaing dari segi penjualan.

"Kalau bisa memang tidak bersaing dari segi penjualan, jadi semua berjualan layanan internet, tapi mungkin dibangun ekosistemnya, saling memperkuat, di mana yang di depannya itu tetap satu. Malulah kalau harus saling bersaing," tukasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rosmayanti
Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: