Kebijakan Wajib Vaksin Masuk Mal, Epidemiolog Griffits University sebut Bukan Solusi Ilmiah
Pemerintah mulai mengizinkan pembukaan pusat perbelanjaan atau mal di wilayah PPKM Level 4, dengan syarat pengunjung wajib memiliki sertifikat vaksin.
Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menilai kebijakan pemerintah mewajibkan masyarakat menunjukkan sertifikat vaksin belum bisa menjawab efektivitas penularan virus.
Menurut Dicky, kebijakan sertifikat vaksin atau paspor vaksin yang dibuat pemerintah Indonesia berdasarkan asumsi ilmiah.
Vaksin Covid-19 yang sudah diberikan pada masyarakat tidak hanya melindungi yang bersangkutan dari infeksi Covid-19 melainkan juga untuk mengurangi risiko menularkan virus secara signifikan.
Atas dasar asumsi ini, orang yang telah divaksinasi lengkap bisa beraktivitas sosial termasuk perjalanan internasional dengan menunjukkan sertifikat vaksin tanpa khawatir berisiko berkontribusi dalam penularan.
"Tetapi faktanya, kepastian itu belum bisa dijawab, apalagi virus yang beredar saat uji (kebijakan) masih varian awal, bukanlah varian baru delta plus atau lambda atau kappa," kata Dicky dikutip dari republika, Rabu (11/8).
Artinya, dia menambahkan, potensi penularan varian delta bahkan reinfeksi bisa terjadi meski kebijakan ini telah diterapkan.
Dicky mengakui, sebenarnya empat negara, yaitu Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Israel sudah menerapkan sertifikat vaksin. Namun, dia menambahkan, yang membedakan adalah setidaknya 50 persen penduduk di masing-masing negara ini sudah divaksin lengkap.
Sementara di Indonesia, masih banyak penduduk belum divaksin lengkap. Dicky khawatir kebijakan ini bisa menimbulkan kesan bahwa yang sudah divaksin penuh bisa beraktivitas bebas sedangkan masyarakat yang enggan divaksin tidak bisa mengunjungi mal.
"Padahal, belum tentu tidak mau, bisa saja vaksinnya yang tidak ada atau dalam antrean (divaksin)," katanya.
Ia mengakui, negara yang banyak memiliki stok vaksin Covid-19 bisa menyelesaikan vaksinasi dalam hitungan minggu atau bulan. Namun, negara yang vaksinasinya masih lama seperti Indonesia bisa saja bisa menyelesaikan target hingga akhir tahun 2021.
Menurutnya, kebijakan ini menjadi diskriminatif dan terjadi ketidakadilan karena masalahnya ada di vaksin sendiri yang aksesnya terbatas. Seharusnya, ia meminta kebijakan sertifikat vaksin yang wajib ditunjukkan ke mal harus didasarkan pada kebijakan pertimbangan implikasi sosial dan berdasarkan pada argumen ilmiah secara epidemiologi dengan menggunakan tools sertifikat vaksin ini.
"Sertifikat vaksin digunakan sebagai alat secara epidemiologi untuk mengendalikan dan mengurangi penyebaran. Tetapi scientific basednya masih lemah karena belum ada bukti usia (pengunjung yang sudah divaksin yang bisa masuk mal), berapa lama (ada di mal setelah menunjukkan sertifikat vaksin dan mencegah penularan)," katanya.
Ia meminta efektifivitas kebijakan menunjukkan sertifikat vaksin sebelum masuk mal harus memiliki data based sehingga tidak terjadi pemalsuan dan tidak menimbulkan masalah baru.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: