Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menanti Penerapan SIN Pajak untuk Meningkatkan Rasio Pajak

Warta Ekonomi, Jakarta -

Pajak sebagai iuran dari warga negara kepada negara, tanpa kontraprestasi Iangsung, dipungut berdasarkan undang-undang, dan dapat dipaksakan.

Pengertian pajak ini berbeda dengan retribusi dan sumbangan. Pembayaran retribusi mempunyai kontraprestasi langsung, sedangkan sumbangan merupakan iuran yang diberikan kepada golongan tertentu.

Fakta yang terjadi, tax ratio Indonesia dalam 5 tahun ke belakang terus mengalami koreksi. Data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat rasio perpajakan terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir.

Tercatat sebesar 10,37 persen pada 2016, lalu merosot ke level 9,89 persen pada 2017, naik tipis ke 10,24 persen pada 2018, pada 2019 kembali turun ke posisi 9,76 persen dan merosot menjadi 8,33 persen pada 2020. 

Ironisnya, hal tersebut bertolak belakang dengan prestasi penerimaan perpajakan selepas terjadinya krisis moneter yang meluluhlantakkan perekonomian Indonesia pada tahun 1998.

Saat itu penerimaan perpajakan terus mengalami mengalami peningkatan. Tercatat tax ratio pada tahun 2005 mencapai 12,6%.

"Padahal dampak Krisis Moneter yang berimbas krisis multi dimensi tahun 1997-1998, menyisakan perekonomian yang morat-marit. Proses recovery berlangsung lama. Hingga tahun 2001, negara kita masih tertatih-tatih bangkit dari keterpurukan,” ungkap Hadi Purnomo adalah mantan Direktur Jendral Pajak tahun 2001, dalam webinar Hukum Bisnis Pajak dan Masyarakat, di Universitas Krisnadwipayana, Selasa (31/8/2021). 

Pencapaian tersebut menurut Hadi, tidak didapat seperti membalikkan telapak tangan. Perlu kerja keras dari DJP untuk memastikan penerimaan perpajakan tersebut sesuai dengan target yang telah ditetapkan.

Pemerintah secara konsisten menjalankan program integrasi data dalam sebuah SIN Pajak melalui MoU ke berbagai instansi baik instansi pemerintah maupun swasta sebagai bagian dari reformasi perpajakan. 

Langkah tersebut kemudian dinilai berhasil oleh Pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan melalui pernyataan bahwa “Potensi kehilangan penerimaan perpajakan dapat dikompensasi melalui dampak positif dari berbagai langkah administrasi perpajakan yang telah dilakukan secara konsisten sejak tahun 2001” sebagaimana tertuang dalam Surat Nomor S-280/MK.02/2006 kepada Pimpinan DPR RI tentang Laporan Pelaksanaan APBN Semester I TA 2006. 

Sebagaimana yang kita ketahui, ada 2 (dua) jenis sistem pemungutan pajak, yaitu: sistem official assessment, dan sistem self assessment.

Dalam sistem official assessment, besarnya jumlah pajak yang terutang ditentukan sepenuhnya oleh aparat pajak, sehingga Wajib Pajak hanya akan membayar pajak apabila terhadapnya telah diterbitkan surat ketetapan pajak yang berisi jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak dan jumlah pajak yang masih harus dibayamya.

Sistem official assessment ini pemah dianut di Indonesia sebelum tahun 1984. Sejak tahun 1984, di Indonesia terjadi reformasi perpajakan (tax reform), yang mengganti sistem official assessment menjadi sistem self assessment.

Berbeda dengan sistem sebelumnya, dalam sistem self assessment, Wajib Pajak diberi kepercayaan; untuk mendaftarkan diri (guna memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan memperoleh Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak).

Dan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang dan atau dipotong/dipungut pihak lain.

“Sedangkan aparat pajak berperan aktif melaksanakan tugas-tugas penyuluhan, pelayanan, pengawasan dan penerapan sanksi sesuai perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Namun, tanpa adanya alat bantu bagi aparat pajak, mustahil bagi aparat pajak untuk melakukan tugas-tugasnya,” ujar Hadi. 

Aliran uang ini paling mungkin disalurkan untuk konsumsi, tabungan, dan investasi. Namun apakah seluruh uang yang digunakan untuk konsumsi, tabungan dan investasi tersebut telah diungkapkan seluruhnya di dalam SPT? Apakah ternyata jumlah pajak di dalam SPT yang dilaporkan lebih kecil dari yang seharusnya, atau bahkan tidak lapor?.

Kondisi ini tidak mudah dideteksi yang pada akhirnya membuat penerimaan pajak tidak optimal. Yang kemudian terjadi adalah, WP merasa mendapatkan kesempatan untuk melakukan manipulasi SPT karena DJP tidak memiliki data pembanding atas SPT tersebut.

Sehingga penghindaran pajak dan manipulasi pajak menjadi sangat mungkin dilakukan.

Jawaban dari permasalahan perpajakan tersebut adalah pemberlakuan SIN Pajak. SIN Pajak adalah penyatuan data secara online dan terintegrasi seluruh data baik keuangan maupun nonkeuangan yang digunakan sebagai data pembanding atas laporan perpajakan dari wajib pajak.

SIN sendiri adalah sebuah sistem informasi yang terintegrasi dimana berisi data-data baik finansial maupun nonfinansial.

Dalam UU KUP, konsep SIN sebagai manajemen informasi perpajakan dinyatakan sebagai kewajiban bagi setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak.

Dalam hal data dan informasi yang diberikan dianggap tidak mencukupi, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Data tersebut merupakan data yang sifatnya interkoneksi secara online, sehingga tidak ada campur tangan manusia dalam pengambilan data dengan melalui mekanisme pengujian link and match.

Namun, sistem pengujian ini ternyata tidak hanya dapat dipergunakan untuk kepentingan perpajakan, namun juga dapat dipergunakan untuk kepentingan pemberantasan korupsi.

Seseorang yang memiliki aset secara tidak sah, yang artinya bukan dari pendapatan yang sah, maka akan dengan cepat dapat ditelusuri. Secara teknis SIN sebagai Bank Data Perpajakan, dapat menghitung total pajak Wajib Pajak karena seluruh data transaksinya tersedia di Pusat Data/Sistem.

Mekanisme seperti ini akan dapat membuat penerimaan pajak tercapai. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya lagi celah bagi Wajib Pajak untuk menyembunyikan sesuatu atau aparat pajak bermain-main karena seluruh celah kecurangan akan dapat diketahui dengan mudah dengan mekanisme pencocokan data pada Pusat Data.

Menurut Hadi, hal ini akan membuat Wajib Pajak “terpaksa” jujur” (voluntary compliance) yang kemudian secara berangsur-angsur menjadi sebuah kebiasaan jujur karena para wajib pajak tersebut tidak memiliki celah untuk berbohong/memanipulasi laporan pajaknya. Sehingga para wajib pajak akan terbiasa untuk jujur dalam melaporkan harta kekayaannya dalam sebuah SPT. 

“Di sisi lain, pemeriksaan pajak oleh aparat pajak telah terbantu dengan menggunakan sistem data perpajakan, sehingga waktu yang diperlukan dalam pemeriksaan akan lebih cepat, imbasnya adalah ruang lingkup pemeriksaan pajak oleh aparat pajak dapat lebih luas,” ujar Hadi. 

SIN Pajak sendiri telah datur dalam UU 28/2007, namun masih terdapat kendala-kendala dalam pemberlakuannya. Kendala utamanya adalah masalah aturan pelaksanaan dari UU 28/2007 yang masih belum selaras dengan UU.

Untuk melaksanakan UU tersebut, hanya butuh political will yang kuat dari para pembuat kebijakan, karena penyelesaiannya tidak membutuhkan waktu dan pengorbanan yang banyak.

Diperkirakan perbaikan regulasi dan integrasi sistem akan dapat disiapkan dalam waktu 6 bulan dengan bantuan kucuran keringat dari putra-putra terbaik bangsa dan berpengalaman.

Dengan terwujudnya SIN, akan dapat dipastikan penerimaan perpajakan akan meningkat secara sistemik. Dan secara nyata SIN akan membuka jalan bagi pajak untuk membuat Indonesia tangguh dan tumbuh sebagaimana yang telah dicanangkan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: