Indonesia Bersimpati pada Taliban yang Berubah, Lebih Banyak Kerugian dari Kebaikan
Adalah satu hal bagi seorang pemimpin ekstremis untuk bersimpati dengan Taliban. Namun lain halnya ketika pujian ini datang dari mantan wakil presiden tersebut.
Sejak Taliban naik ke tampuk kekuasaan, pandangan Kalla tentang memberi kesempatan kepada Taliban telah menjadi umum di kalangan politisi dan pemimpin terkemuka dari berbagai partai dan organisasi politik Islam.
Baca Juga: Jusuf Kalla Kaget Taliban Cepat Kuasai Kabul
Di antaranya Hidayat Nur Wahid dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Sudarnoto Abdul Hakim dari MUI, Mahfuz Sidik dari Partai Gelora yang dimulai oleh mantan tokoh PKS Anis Matta dan Fahri Hamzah, dan masih banyak lagi.
Sementara pemimpin NU Said Aqil Siradj mempertahankan pandangan bahwa Taliban merupakan ancaman bagi masyarakat Indonesia, beberapa tokoh senior NU lainnya jauh lebih toleran terhadap kelompok tersebut.
Wakil Sekjen NU, Abdul Mun’im DZ, salah satunya. Mun’im telah mempublikasikan konflik Afghanistan dan menghadiri pertemuan 2019 dengan Taliban di Jakarta. Mun'im percaya bahwa Taliban telah berubah, dan dia mengklaim NU memainkan peran "besar" dalam moderasinya.
Menurut Mun’im, NU telah melakukan diskusi dengan Taliban selama beberapa tahun. Ini dimotivasi oleh ambisinya untuk menyebarkan Islam wasatiyyah (Islam sentris) – prinsip yang mendasari Islam Nusantara (Islam Nusantara) – ke seluruh dunia untuk melawan munculnya interpretasi puritan tentang Islam. Mun’im bahkan menyatakan NU membantu mendirikan “NU Afghanistan”.
Rupanya terinspirasi oleh nilai-nilai NU, organisasi ini telah berkembang menjadi 22 dari 34 provinsi Afghanistan. Lebih dari 7.000 ulama Afghanistan dan lebih banyak lagi mahasiswa berpartisipasi dalam kegiatannya. NU Afghanistan terus berdialog dengan akar rumput Taliban, klaim Mun'im.
Pemimpin NU yang simpatik lainnya adalah Abdul Manan Ghani. Ghani mendesak masyarakat Indonesia untuk tidak merasa terancam oleh Taliban. Dia menekankan bahwa Taliban mengikuti sekolah yurisprudensi Islam Hanafi dan mengakui otoritas ulama, tidak seperti gerakan “Wahabi” puritan. Dalam hal ini, kata Ghani, Taliban secara inheren berbeda dari kelompok Salafi-jihadis seperti Negara Islam Irak dan Syam (ISIL).
Meskipun Afghanistan memiliki sejarah pluralismenya sendiri yang diatur di bawah akidah Islam Hanafi, seperti yang ditunjukkan oleh beberapa penelitian, penting untuk diingat bahwa Taliban bukanlah gerakan Islam biasa. Banyak laporan dari lapangan telah menunjukkan prospek suram untuk pemerintahan di bawah Taliban.
Ada kecurigaan mendalam di kalangan pengamat internasional tentang janji Taliban untuk menghormati hak asasi manusia, termasuk hak perempuan dan anak perempuan, serta etnis dan agama minoritas. Orang-orang Afghanistan di luar negeri termasuk di antara suara-suara paling keras dalam mengutuk Taliban. Beberapa dari lebih dari 7.000 pengungsi Afghanistan yang tinggal di Indonesia juga berpartisipasi dalam protes.
Dalam konteks ini, pandangan yang diungkapkan oleh mantan wakil presiden dan banyak tokoh Islam terkemuka lainnya di Indonesia, paling banter, tidak selaras dengan keprihatinan masyarakat internasional. Paling buruk, pandangan seperti itu bisa memiliki konsekuensi negatif.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto