Studi Terbaru Cisco, 60% UKM Indonesia Alami Berbagai Serangan Siber
Studi baru dari Cisco menunjukkan bahwa Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia saat ini lebih banyak terpapar, diserang, dan lebih khawatir mengenai ancaman keamanan siber dibandingkan sebelumnya. Menurut studi tersebut, 33% UKM di Indonesia mengalami insiden siber dalam satu tahun terakhir. Sebagai akibat dari insiden ini, 60% mengalami pencurian informasi pelanggan oleh pelaku kejahatan.
Hal ini membuat UKM lebih khawatir tentang risiko keamanan siber. Sebanyak 80% dari UKM yang terlibat dalam studi ini mengatakan bahwa saat ini mereka lebih khawatir tentang keamanan siber dibandingkan 12 bulan yang lalu, dan 68% mengatakan mereka merasa terpapar ancaman siber. Namun, UKM di Indonesia tidak lantas menyerah. Bahkan, studi ini menyoroti bahwa mereka mengambil langkah-langkah strategis seperti melakukan latihan simulasi untuk meningkatkan postur keamanan siber mereka.
Baca Juga: 5G Cybersecurity Training: Pentingnya Literasi Keamanan Siber di Kalangan Akademika
Hampir tiga dari sepuluh (29%) UKM di Indonesia yang mengalami serangan siber melihat bahwa alasan utama terjadinya serangan tersebut adalah karena solusi keamanan siber yang dianggap tidak memadai untuk mendeteksi atau mencegah serangan. Sementara itu, 21% menyebutkan bahwa alasan utama terjadinya serangan adalah tidak adanya solusi keamanan siber.
Insiden tersebut memiliki dampak nyata pada bisnis. Sebanyak 43% UKM di Indonesia yang mengalami insiden siber dalam 12 bulan terakhir mengatakan bahwa kejadian tersebut merugikan bisnis mereka sampai 500.000 dolar atau lebih. Bahkan, sebanyak 12% menyatakan bahwa biaya yang dikeluarkan mencapai 1 juta dolar atau lebih.
Direktur Cisco Indonesia, Marina Kacaribu, mengatakan bahwa selama 18 bulan terakhir, UKM telah memanfaatkan teknologi agar bisa tetap beroperasi dan melayani pelanggan mereka, bahkan saat mereka sedang menangani dampak dari pandemi. Hal ini telah menyebabkan terjadinya percepatan digitalisasi UKM di seluruh Indonesia. Ketika UKM menjadi lebih digital, mereka menjadi target yang lebih menarik bagi pelaku kejahatan karena bisnis digital menyebabkan terbukanya banyak informasi yang bisa menjadi sasaran empuk bagi peretas.
"Hal-hal tersebut mendorong UKM untuk berinvestasi pada solusi dan kemampuan untuk memastikan mereka dapat menjaga bisnis mereka di bidang keamanan siber," ujarnya melalui konferensi pers, Kamis (21/10).
Selain kehilangan data pelanggan, UKM di Indonesia yang mengalami insiden siber juga kehilangan data karyawan (63%), email internal (62%), informasi bisnis yang sensitif (60%), informasi keuangan (54%), dan kekayaan intelektual (54%). Selain itu, 58% mengakui bahwa kejadian-kejadian tersebut berdampak negatif pada reputasi mereka.
Gangguan yang disebabkan oleh insiden siber ini dapat menyebabkan masalah serius bagi UKM. Sebanyak 18% UKM di Indonesia mengatakan bahwa bahkan downtime yang terjadi kurang dari satu jam saja dapat menyebabkan gangguan operasional yang parah. Sementara, 35% mengatakan downtime antara 1 hingga 2 jam dapat menyebabkan hal yang sama.
Selain itu, 25% mengatakan bahwa downtime yang hanya kurang dari satu jam akan berdampak parah pada pendapatan. Sementara, 27% mengatakan downtime antara 1 hingga 2 jam akan menyebabkan hal yang sama. Selanjutnya, 9% mengatakan downtime selama satu hari dapat mengakibatkan organisasi mereka tutup secara permanen.
Skala tantangan ini ditunjukkan oleh fakta bahwa hanya 17% responden di Indonesia yang mengatakan mereka dapat mendeteksi insiden siber dalam waktu satu jam. Jumlah responden yang mampu memulihkan insiden siber dalam waktu satu jam bahkan lebih sedikit, yaitu 12%.
Menurut Director Cybersecurity, Cisco ASEAN, Juan Huat Koo, masyarakat saat ini hidup di era di mana pelanggan mencari kepuasan secara cepat. Mereka tidak lagi memiliki kesabaran untuk downtime yang lama. UKM harus bisa mendeteksi, menyelidiki, dan memblokir atau memulihkan sendiri insiden siber yang terjadi, dalam waktu sesingkat mungkin. Untuk dapat melakukan itu, mereka membutuhkan solusi yang mudah diterapkan dan digunakan, terintegrasi dengan baik satu sama lain, dan dapat membantu mereka mengotomatisasi kemampuan seperti deteksi, pemblokiran, dan perbaikan insiden siber.
"Selain itu, mereka membutuhkan visibilitas yang jelas di seluruh basis pengguna dan infrastruktur IT mereka, termasuk cloud dan penerapan as a service, dan mengambil pendekatan platform untuk keamanan siber," kata Juan Huat Koo.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Nuzulia Nur Rahma
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: