Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pengamat Politik Unpad: Pak Moeldoko Agak Terlihat Tidak Kompeten sebagai Kepala Staf Presiden

Pengamat Politik Unpad: Pak Moeldoko Agak Terlihat Tidak Kompeten sebagai Kepala Staf Presiden Moeldoko | Kredit Foto: Instagram/Moeldoko
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pengamat politik dari Universitas Padjajaran (Unpad) Firman Manan mengingatkan, keputusan Mahkamah Agung (MA) untuk menolak permohonan judicial review terhadap AD ART Partai Demokrat, merupakan blunder Moeldoko yang kesekian kalinya.

“Penolakan MA ini merupakan tamparan tersendiri. Konstruksinya saja sudah tidak lazim. KSP Moeldoko memotori gugatan terhadap Menkumham yang nota bene adalah sesama anggota kabinet,” ujar Firman kepada waratwan, Selasa, (16/11).

Baca Juga: Moeldoko Sudah Kena Prank Tiga Kali Berturut-turut, Dinilai Layak Dicongkel dari Kursi KSP

Menurut Firman, objek gugatannya juga problematik. Karena itu, tidak terbayang kekacauan hukum yang terjadi jika AD/ART organisasi boleh digugat sembarang orang.

“Andai dikabulkan, ini tentu mengancam kebebasan berserikat yang dijamin konstitusi,” ujarnya.

Bahkan, Firman berpendapat, di tengah menumpuknya kasus-kasus peradilan yang belum selesai dan rasa keadilan masyarakat yang terluka, permohonan judicial review atas AD/ART Partai Demokrat ini sesungguhnya pemborosan sumber daya hukum.

Firman juga beranggapan, Moeldoko sebetulnya sudah kena prank tiga kali. Mulai dari Darmizal, lalu Jhony Allen Marbun, sekarang oleh Yusril (Ihza Mahendra).

“Dalam persoalan ini, menurut saya, Moeldoko agak terlihat tidak kompeten sebagai Kepala Staf Presiden,” ujarnya.

Hal senada juga disampaikan oleh pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun, di tengah terus menurunnya citra Jokowi, sayangnya langkah-langkah yang diambil KSP Moeldoko lebih banyak merugikan ketimbang menguntungkan Presiden Jokowi dalam menyiapkan legacy pemerintahannya.

“Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Presiden biasanya ingin dikenang baik setelah usai menjabat,” ujarnya.

Lebih lanjut Ubedilah juga mengingatkan bahwa bukan hanya dalam kasus Demokrat, Moeldoko melakukan manuver yang merugikan reputasi Pemerintah. Seperti dalam kasus Jiwasraya, terdakwa Hary Prasetyo pernah direkrut Moeldoko sebagai tenaga ahli.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Alfi Dinilhaq

Bagikan Artikel: