Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kementan Antisipasi Dampak La Nina ke Tanaman Perkebunan

Kementan Antisipasi Dampak La Nina ke Tanaman Perkebunan Foto udara perkebunan sawit milik PTPN VIII di Cikidang, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (27/10/2021). Dewan Minyak Sawit Indonesia mengatakan, produksi minyak sawit mentah diproyeksikan meningkat 3,07 persen atau mencapai 54,7 juta ton pada 2022 dibandingkan tahun ini sebesar 53,07 ton. | Kredit Foto: Antara/Raisan Al Farisi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Direktorat Jenderal Perkebunan Kementrian Pertanian mengupayakan berbagai langkah penanganan atau pencegahan pada subsektor perkebunan untuk mengantisipasi dampak fenomena La Nina.

Direktur Perlindungan Perkebunan Kementrian Pertanian, Ardi Praptono mengungkapkan secara umum komoditas perkebunan ditanam pada daerah-daerah lahan kering dan ditanam pada areal dataran tinggi, serta memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan tanaman pangan maupun hortikultura, yang mana kondisi tanaman perkebunan lebih kuat.

“Sehingga apabila terjadi bencana alam akibat fenomena La Nina, seperti banjir, angin puting beliung, tanah longsor, banjir bandang dan serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) tidak berdampak secara signifikan terhadap tanaman perkebunan, namun akan berpengaruh terhadap produksi,” kata Ardi di Jakarta, kemarin.

Dampak negatif dari fenomena La Nina terhadap subsektor perkebunan di Indonesia, antara lain terjadinya eksplosi OPT khususnya berbagai penyakit akibat jamur, serangan hama tikus dan penurunan mutu hasil produksi perkebunan serta terjadi banjir pada lahan perkebunan terutama pada lahan gambut, karena lahan gambut merupakan lahan yang sensitif untuk ditanami komoditas perkebunan,

Sehingga apabila tidak dikelola dengan baik terutama pada musim kemarau berpotensi menyebabkan kebakaran lahan sedangkan pada musim penghujan akan menyebabkan banjir.

Tak hanya itu, komoditas perkebunan mayoritas ditanam pada dataran tinggi dengan tingkat topografi yang curam / lereng gunung sehingga apabila terjadi hujan dengan intensitas tinggi dapat memicu tanah longsor yang berdampak pada lahan perkebunan.

Karena itu Direktorat Jenderal Perkebunan fokus mendorong kegiatan mitigasi dan adaptasi. Kegiatan adaptasi difokuskan pada aplikasi teknologi adaptif seperti penyesuaian pola tanam, teknologi pengelolaan lahan, pupuk, air dan lain-lain, sedangkan

Sementara kegiatan mitigasi merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana, yang terdiri dari antisipasi (sebelum bencana), saat bencana (tanggap darurat) dan pasca bencana.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Boyke P. Siregar

Bagikan Artikel: