Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Haris Azhar: Hukuman Mati Untuk Koruptor Harus Dibatalkan, Selama….

Haris Azhar: Hukuman Mati Untuk Koruptor Harus Dibatalkan, Selama…. Kredit Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Warta Ekonomi, Jakarta -

Salah satu dari terdakwa kasus korupsi PT Asabri, yaitu Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat, telah dituntut hukuman mati oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang lanjutan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Senin (6/12). Tuntutan maksimal tersebut didasarkan pada dugaan bahwa Heru telah melakukan korupsi dalam kasus PT Asabri sehingga merugikan negara sampai Rp22,7 triliun. “Menuntut agar majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini dapat memutuskan menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan pemberatan secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang," ujar jaksa dalam tuntutannya.

Dengan berdasarkan sejumlah bukti yang ada, pihak jaksa menyebut bahwa Heru Hidayat secara meyakinkan telah terbukti memperkaya diri dan dua mantan Dirut Asabri lainnya. “Menghukum Heru Hidayat dengan hukuman pidana mati," lanjut jaksa. Menanggapi tuntutan tersebut, aktivis HAM sekaligus praktisi hukum, Haris Azhar, justru menyebut bahwa tuntutan hukuman mati kepada koruptor tiak seharusnya diterapkan, terlebih selama kondisi faktual institusi penegak hukum di Indonesia saat ini masih cenderung transaksional. Dalam kondisi dan mental penegak hukum yang masih demikian, hukuman mati menurut Haris justru perlu dilarang karena rawan digunakan sebagai bentuk represi pada pihak-pihak yang dituduh telah melakukan kejahatan. “Dalam studi para ahli hukum dan HAM, salah satu faktor pelarangan terhadap hukuman mati adalah karena bentuk hukuman ini sering digunakan untuk represi dan menakut-nakuti orang yang dituduh melakukan kejahatan, yang dalam hal ini adalah korupsi,” tutur Haris.

Karenanya, lanjut Haris, pelaksanaan hukuman mati tidak bisa diterapkan ketika sebuah institusi, kebijakan (pemidanaan) dan pelaksanaan kerjanya masih buruk, korup, dan cenderung bisa ‘dibeli’ atau menerima pesanan dari pihak tertentu. Salah satu contoh, misalnya, seperti kasus eks jaksa Pinangki yang dijerat tiga dakwaan karena terbukti menerima suap dari kasus Djoko Tjandra. “Jadi ini lebih pada permainan psikologis. Sementara kita tahu bahwa kualitas kerja institusi penegak hukum dan aparatnya masih banyak celah negatif. Apalagi penghitungan kerugian negara yang dilakukan oleh BPK ditengarai tidak dilakukan secara independen dan cermat. Lalu dimana letaknya rasa keadilan itu?” ungkap Haris.

Sebagaimana diketahui, dalam kasus korupsi PT Asabri terdapat delapan terdakwa, yaitu Mantan Dirut Asabri, Mayjen Purn Adam Rahmat Damiri, Letjen Purn Sonny Widjaja sebagai Direktur Utama PT Asabri periode 2016-2020, Bachtiar Effendi sebagai Kepala Divisi Keuangan dan Investasi PT Asabri periode 2012-2015. Kemudian ada juga Hari Setianto sebagai Direktur Investasi dan Keuangan PT Asabri periode 2013-2019, Lukman Purnomosidi sebagai Presiden Direktur PT Prima Jaringan, Heru Hidayat sebagai Presiden PT Trada Alam Minera, dan Jimmy Sutopo sebagai Direktur PT Jakarta Emiten Investor Relations. Satu terdakwa lainnya adalah Benny Tjokrosaputro sebagai Komisaris PT Hanson International Tbk. Namun, perkara Benny belum sampai pada pembacaan tuntutan dan masih pada tahap pemeriksaan saksi, sehingga belum sampai pada proses pembacaan tuntutan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Taufan Sukma
Editor: Taufan Sukma

Bagikan Artikel: