Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

'Bongkar Habis' Tiga Cara Presidential Threshold 0 Persen, Salah Satunya Ada di Tangan Jokowi

'Bongkar Habis' Tiga Cara Presidential Threshold 0 Persen, Salah Satunya Ada di Tangan Jokowi Kredit Foto: Instagram/Refly Harun

Sebab, dengan kekuasaan yang begitu powerfull oligarki bisa melakukan apa saja. 

"82 persen itu tak mungkin mengajukan satu calon. Mereka bisa membelah diri dan konstestasi, tapi konstestasi yang tidak genuin. Hasil sudah ditebak dan kekuasaan dibagi," urainya.

 Padahal, kata Refly, dalam pasal 6A UUD 1945 sudah sangat jelas bahwa yang bisa mengajukan Capres-Cawapres adalah parpol peserta pemilu. 

"Harusnya apa pun parpol yang ditetapkan sebagai peserta pemilu dia punya konstitusional, standing mencalonkan Capres-Cawapres. Harusnya begitu," tutur dia.

Namun, ia melanjutkan, oleh DPR sejak tahun 2004 diperkenalkan yang namanya Presidential Threshold. 

"Saat itu tak masalah karena yang dipakai aturan peralihan. Saat itu aturannya adalah 15 persen kursi atau 20 persen. Tapi karena pada tahun 2004 itu Pilpres pertama, digunakan peralihan cukup 3 persen kursi atau 5 persen suara. Saat itu ada 5 pasangan calon," tutur dia.

Pada Pemilu 2014 dan 2019 terjadi head to head imbas dari Presidential Threshold. 

"Prinsip demokrasi adalah fair competition. Pintu kompetisi harus dibuka. Harus diberika kepada seluruh parpol. Kalau ada yang bilang, nanti tetangga saya nyapres. Itu lebay karena standing-nya adalah parpol dan gabungan parpol," tegas Refly.

Agar tak goyang, Refly menilai setelah Presidential Threshold 0 persen maka perlu dituangkan dalam konstitusi kita. 

"Saya juga setuju calon perseorangan. Ini soal filosofi. Semua warga negara dan pemilih tidak semuanya mengacu parpol untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat," imbuhnya.

Saat ini, Refly menilai ada tiga kelompok yang memandang amandemen konstitusi. Pertama, mereka yang tak ingin perubahan alias status quo.

Baca Juga: Ngena Banget! Ferdinand Blak-blakan Soroti Sikap Anggota DPR Soal Karantina: Bikin Malu!

"Mereka sudah berada dalam posisi aman dan nyaman dengan konstitusi saat ini. Mereka menilai belum saatnya amandemen. Kelompok ini diwakili mereka yang ada di parpol, terutama di parpol besar dan DPR," tutur Refly.

Kedua, kelompok yang menurut Refly sedikit fatalistik karena ingin kembali pada UUD 1945. 

"Kalau kembali ke sana maka yang terjadi DPD RI bubar. Tidak ada MK dan KY. Konsekuensinya harus kita lihat juga," papar dia. Kelompok ketiga adalah mereka yang merasa tidak puas dengan kosntitusi saat ini dan memandang banyak kelemahan dan menginginkan perubahan lanjutan. 

"Salah satunya digulirkan wacana amandemen ke-5 atau konstitusi baru. Yang belakangan lebih berat. Saya berada di posisi ketiga tapi memilih yang pertama yakni amandemen ke-5," terang Refly.

Kegiatan ini dihadiri Wakil Ketua 1 DPD RI Nono Sampono, serta sejumlah senator, yaitu Sylviana Murni (DKI Jakarta), Ahmad Nawardi (Jawa Timur), Bustami Zainudin dan Abdul Hakim (Lampung), Sukiryanto (Kalbar), dan Sudirman (Aceh), Angelius Wake Kako (NTT), Leonardi Harmaini (Sumbar) dan Darmansyah Husein (Babel).

Selain Refly, narasumber lainnya adalah Staf Ahli Jaksa Agung, Jan S Maringka dan Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, Prof Masdar Hilmy.[]

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Bayu Muhardianto

Bagikan Artikel: