Tolong Didengar Omongan G7: Pemilu Hong Kong Gak Demokratis, Isinya Terbongkar...
Negara-negara maju yang tergabung dalam Kelompok G7, mengkritisi pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) di Hong Kong. Pemilu yang berlangsung pada Minggu (19/12/2021) itu dianggap sebagai pengekangan terhadap demokrasi.
Pemilu Hong Kong kali ini dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang (UU) Pemilu yang baru. Di mana hanya calon-calon yang setia pada China yang bisa mencalonkan diri menjadi anggota legislatif Hong Kong.
Baca Juga: Mimpi Bangun Negara Visi Demokrasi Sama, G7 Banyak Khawatirkan China
Menurunnya demokrasi di salah satu pusat bisnis dunia itu, juga tercermin dari tingkat partisipasi pemilih. Hanya diikuti sekitar 30 persen pemilih, dari 4 juta lebih warga Hong Kong yang memiliki hak pilih.
Angka itu yang terendah sejak Hong Kong kembali ke China pada 1997. Pada Pemilu terakhir 2016, tingkat partisipasi mencapai 58 persen. Sedangkan pada pemilihan Dewan Distrik 2019, ketika tokoh-tokoh pro-demokrasi menang telak, tingkat partisipasi pemilih mencapai rekor 71 persen.
Situasi tersebut menuai reaksi dari para Menteri Luar Negeri (Menlu) G7. Bersama-sama, mereka mengungkapkan keprihatinan atas terkikisnya demokrasi dalam sistem pemilihan Hong Kong.
Mereka mengatakan, proses pemeriksaan terhadap para kandidat, sangat membatasi pilihan warga di surat suara. Serta merusak otonomi tingkat tinggi yang sebelumnya dilaksanakan di Hong Kong, di bawah prinsip Satu Negara, Dua Sistem, prinsip yang disepakati saat Inggris menyerahkan wilayah itu ke China.
Para Menlu dari Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat (AS), meminta China memulihkan kepercayaan pada lembaga-lembaga politik Hong Kong. Mereka juga meminta diakhirinya pengekangan dan tekanan tanpa alasan jelas terhadap mereka yang mempromosikan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa (UE) Josep Borrell mengatakan, pemilihan itu adalah “langkah lain dalam pembongkaran prinsip Satu Negara, Dua Sistem”.
“Kami menyerukan otonomi tingkat tinggi. Serta penghormatan terhadap hak asasi manusia, kebebasan, prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum di Hong Kong,” tegas Borrell.
Dalam pernyataan sebelumnya, Inggris, AS, Kanada, Australia dan Selandia Baru mengkritik sistem baru dengan bahasa yang lebih kuat. Mereka menuding, perubahan tersebut menghilangkan oposisi politik yang penting. Mereka juga mengaku sangat prihatin dengan efek mengerikan yang lebih luas dari UU Keamanan Nasional yang diterapkan Beijing di Hong Kong.
“Serta semakin meningkatnya pembatasan kebebasan berbicara dan kebebasan berkumpul, yang dirasakan di seluruh masyarakat sipil,” pernyataan mereka, dilansir Al Jazeera, kemarin.
Menanggapi hal itu, Juru Bicara Kedutaan Besar (Kedubes) China di Inggris menyebut, pernyataan itu tidak bertanggungjawab. Kedubes China menuding kelompok itu mendistorsi fakta. Serta dengan jahat mendiskreditkan pemilihan, yang dianggap sangat mencampuri urusan dalam negeri China. Serta melanggar norma-norma dasar yang mengatur hubungan internasional.
“Kami menyatakan menentang dan mengecam keras,” kata juru bicara itu, dalam sebuah pernyataan di situs resmi Kedubes China di Inggris.
Sebelumnya, Beijing telah meminta warga Hong Kong untuk menerima aturan baru, yang mereka katakan akan memulihkan stabilitas dan membasmi elemen “anti-China” untuk selamanya, karena dianggap mengganggu.
Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam juga membela sistem baru itu. Dia menepis rendahnya jumlah pemilih. Menurutnya, Hong Kong saat ini telah kembali ke jalur yang benar. “Kami tidak dapat menyalin dan menempelkan apa yang disebut sistem demokrasi atau aturan negara-negara Barat,” tegas Lam.
Zhao Lijian, Juru Bicara Kemenlu China, menyalahkan pandemi dan elemen anti-China yang bertekad menghancurkan Hong Kong sebagai penyebab rendahnya jumlah pemilih.
Selain itu, dia juga menuding adanya campur tangan kekuatan eksternal. Hong Kong pada dasarnya tidak pernah menjadi wilayah dengan demokrasi penuh di bawah koloni Inggris atau China. Tetapi tindakan keras Beijing dan reformasi politik membuat warga Hong Kong memiliki lebih sedikit suara tentang siapa yang menjalankan kota mereka daripada sebelumnya.
Sebagian besar aktivis demokrasi penting di Hong Kong, termasuk beberapa mantan anggota parlemen terpilih, berada di penjara, di pengasingan, atau didiskualifikasi dari pencalonan Nathan Law, eks anggota parlemen yang sekarang tinggal di Inggris yang dicari oleh otoritas Hong Kong, menyebut pemungutan suara akhir pekan itu sebagai pemilihan palsu.
“Boikot dari orang-orang Hong Kong menunjukkan tidak ada mandat untuk legislatif ini,” tulisnya di Twitter.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: