Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Fakta Abraham Accords yang Bikin Indonesia Mempertimbangkan Damai dengan Israel, Ternyata Isinya...

Fakta Abraham Accords yang Bikin Indonesia Mempertimbangkan Damai dengan Israel, Ternyata Isinya... Dalam foto yang dirilis Istana Kepresidenan RI ini, Presiden RI Joko Widodo, kiri, berjalan bersama Menlu AS Antony Blinken, kedua kanan, sebagai Duta Besar AS untuk Indonesia Sung Kim, kedua kiri, dan Mensesneg Pratikno, kanan, lihat, saat pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Senin, 13 Desember 2021. | Kredit Foto: AP Photo/Istana Kepresidenan RI/Agus Suparto
Warta Ekonomi, Washington -

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken baru saja bertandang ke Indonesia pada 14 Desember. Tak hanya disorot kedua negara bersangkutan, kunjungan ini juga menuai perhatian media Israel. Pasalnya, diwartakan kalau Indonesia sedang mempertimbangkan bergabung dengan Abraham Accords.

Abraham Accords sendiri merupakan suatu perjanjian untuk menarik negara Arab dan mayoritas Muslim agar mau mengakui dan menormalisasi hubungan dengan Israel. Diperantarai oleh AS, fakta-fakta apa sajakah yang tersembunyi di balik perjanjian ini?

Baca Juga: Duh, Benarkah Menlu Amerika Bujuk Normalisasi Indonesia-Israel di Jakarta?

Dihimpun AKURAT.CO dari berbagai sumber, ini 5 fakta penting Abraham Accords.

1. Bermula dari proposal perdamaian Donald Trump

Jauh sebelum Abraham Accords tercetus, pemerintahan Donald Trump menggegerkan dunia dengan mengumumkan proposal perdamaian Israel-Palestina pada 28 Januari 2020.

Dalam rencana ini, Israel bakal memperluas wilayahnya sekitar 30 persen dari Tepi Barat. Usulan ini sontak menuai reaksi dari berbagai negara, terutama Timur Tengah.

Pada 12 Juni 2020, Duta Besar Uni Emirat Arab (UEA) untuk AS, Yousef al-Otaiba, menulis opini untuk menghentikan rencana pencaplokan wilayah Tepi Barat oleh Israel. Opini ini ditujukan kepada publik Israel dan diterbitkan di halaman depan Yedioth Ahronoth.

Gedung Putih pun jadi gamang dan hal ini didiskusikan oleh penasihat presiden AS, Avi Berkowitz, dengan perdana menteri Israel saat itu, Benjamin Netanyahu. Dari hasil rapat tersebut, Berkowitz mengusulkan alternatif untuk mengganti aneksasi dengan normalisasi hubungan dengan Uni Emirat Arab (UEA).

Pada 2 Juli 2020, Berkowitz menemui Otaiba untuk membahas lebih lanjut rencana normalisasi ini. Berkat kepentingan bersama untuk menciptakan koalisi melawan kekuatan oposisi Iran, tercapai kesepakatan normalisasi pada Agustus 2020.

2. UEA dan Bahrain jadi pemrakarsa

Dengan tercapainya kesepakatan normalisasi, Israel setuju untuk menunda rencana pencaplokan di Tepi Barat. Beberapa jam setelah perjanjian ini diumumkan pada 13 Agustus, Bahrain menelepon AS dan menyatakan ingin bergabung.

Pada 11 September 2020, tercapai kesepakaran antara Trump, Netanyahu, dan Raja Bahrain Hamad bin Isa bin Salman al-Khalifa. UEA, Bahrain, dan Israel pun menandatangani Abraham Accords pada 15 September 2020 dengan disaksikan oleh AS di Gedung Putih.

Sejak itu, UEA dan Bahrain mengumumkan akan bekerja sama dengan Israel untuk menghadirkan front persatuan kepada AS tentang kesepakatan nuklir dan program rudal balistik Iran.

Bagi UEA, perjanjian ini tak sekadar mengarah pada hubungan diplomatik, tetapi juga pertukaran budaya dan kerja sama rakyat di kedua negara. Sejak Abraham Accords ditandatangani, 130 ribu warga Israel telah mengunjungi Dubai.

Perdagangan antara Israel dan UEA pun telah mencapai 1 miliar dirham UEA (Rp3,8 triliun). AS kemudian setuju untuk menjual pesawat tempur canggih F35 kepada UEA. Namun, langkah ini membuat Israel khawatir kalau peralatan tempur itu nantinya digunakan untuk menyerang Israel di masa depan.

Meski begitu, AS berhasil meyakinkan Israel dengan membantunya menyiapkan pertahanan negara yang mumpuni.

Sementara itu, Bahrain sudah lama menjalin hubungan yang tenang dengan Israel. Raja Bahrain pernah mengecam seruan boikot terhadap Israel pada 2017 oleh Liga Arab. Pada tahun 2020, Bahrain menjadi tuan rumah konferensi 'perdamaian untuk kemakmuran' yang dipimpin oleh pemerintah AS dan diboikot oleh para pemimpin Palestina.

Setelah Abraham Accords ditandatangani, Bahrain mengutus Khaled Yousif al-Jalahma sebagai duta besar pertama dari Bahrain untuk Israel pada 30 Maret.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: