Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ini Penyebab Rendahnya Daya Saing Industri Pelayaran Nasional

Ini Penyebab Rendahnya Daya Saing Industri Pelayaran Nasional Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Peluang bisnis pelayaran di Indonesia masih sangat besar yang memerlukan dukungan semua stakeholder di industri tersebut. Beberapa regulasi, antara lain perpajakan yang terbit pada 2021, berdampak pada industri pelayaran nasional sehingga memengaruhi daya saing. 

Di sisi lain, porsi pelayaran nasional yang hanya 9% untuk kargo luar dinilai kurang optimal. Hal ini disebabkan antara lain skema kontrak ekspor. Kargo dari Indonesia untuk ke luar mengunakan skema FOB (Free on Board).

Pada skema ini pembeli mempunyai kewajiban menyediakan kapal. Dengan demikian pembeli akan mencari kapal yang memang sudah mempunyai networking atau relationship yang baik dengan mereka. 

“Pembeli produk Indonesia biasanya sudah mempunyai sister company di shipping industry. Ini yang menjadi hambatan. Diharapkan ada perubahan dari skema FOB ke Cost and Freight (CnF), dimana eksportir yang menyediakan kapal,” kata Wakil Ketua Umum I Indonesian National Shipowners Association (INSA) Darmansyah Tanamas dalam webinar Linking Investment and Business Prospects cof Integrated Marine Logistics in Indonesia : An Outlook 2022 yang diselenggarakan Energy and Mining Editor Society (E2S), Selasa (28/12). 

Selain Darmansyah, pembicara lainnya adalah pengamat ekonomi energi Universitas Padjadjaran Yayan Satyakti PhD, Plt Kasubdit Pengembangan Usaha Angkutan Laut Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Laut Kementerian Perhubungan Raden Yogie Nugraha, dan Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Erry Widiastono. Adapun Staf Ahli Menteri Investasi/Kepala BKPM Bidang Ekonomi Makro Indra Darmawan tampil sebagai pembicara kunci.

Menurut Darmansyah, industry pelayaran nasional juga terkena dampak beberapa regulasi perpajakan, selain Peraturan Menteri Keuangan Nomor 186 Tahun 2019 mengenai objek pajak yang dianggap mengganggu. “Ini tentunya berdampak pada rendahnya daya saing pelayaran nasional. Kami sedang usaha untuk dapat keringanan atau insentif dari pemerintah,” katanya.  

Industri pelayaran nasional, lanjut Darmansyah,  berharap  penyerahan jasa angkutan umum di laut dibebaskan dan pengenaan pajak PPN untuk selamanya. Selain itu, pembelian kapal impor, spare part dan alat kesehatan kapal dibebaskan dari pengenaan PPN.

Selain itu, jasa docking, jasa repair, jasa perbaikan kapal, jasa kapal di kepelabuhanan, jasa kapal di darat yang menjadi beban perusahaan pelayaran nasional juga dibebaskan dari pengenaan PPN, makanan-minuman dan obat-obatan. “Kru kapal di atas kapal termasuk dalam kategori natura dan bukan penghasilam kru kapal, jasa penyewaan kapal, dibebaskan dari pengenaan PPN,” katanya.

Yayan Satiyakti mengatakan, peluang bisnis integrasi maritim di Indonesia akan didominasi oleh kebutuhan industri, terutama untuk energi fosil seperti batu bara, minyak mentah dan BBM. Ketika akses ditambah dengan integrated marine management bisa me-reducing transport cost. Ketika akses mudah, pasokan bertambah dan harga akan semakin efisien. Karena itu, aksesibilitas menjadi hal yang penting. “Ini harus didukung dengan demand yang kuat,” katanya. 

Yogie Nugraha menjelaskan, arah kebijakan utama transportasi laut nasional pada 2020-2024 adalah mewujudkan logistik maritim dalam negeri yang dapat berdaya saing, peningkatan konektivitas terhadap jaringan pelayanan internasional, pengembangan pelabuhan hub internasional dan pelabuhan pendukung tol laut.

Dari sisi armada, pemerintah berupaya memperkuat armada perkapalan nasional dalam mendukung sistem logistik. Ada enam poin penting dalam upaya memperkuat armada perkapalan, mulai dari sisi ekonomi, knowledge and skill, kemampuan teknologi, hingga regulasi. “Pemerintahan mencoba mendukung dari sisi peraturan dan payung hukum,” katanya. 

Erry Widiastono, Direktur Utama PIS, mengatakan PIS bertransformasi dari sub holding shipping menjadi lebih besar lagi menjadi subholding marine logistics. Sebanyak lima terminal besar Pertamina diserahkan ke PIS. Kini bisnis PIS menjadi tiga, yakni shipping, terminal BBM dan LPG, lalu marine logistic. 

“KaMI semua menghadapi tantangan yang menuntut perubahan bisnis dan perubahan dari company itu sendiri. Tidak hanya PIS, saya yakin semua pelaku bisnis logistic provider khususnya di bidang migas menuntut adanya perubahan,” kata Erry.

PIS menghadapi tantangan dan peluang strategis yang menuntut perubahan internal. Saat ini di Indonesia GDP masih ada potensi tumbuh. Pertumbuhan akan berbanding lurus dengan konsumsi energi. Untuk menghadapi tantangan, peluang dan perubahan lingkup energI, PIS bertransformasi menjadi integrated marine logistic company. Transformasi ini dilakukan melalui dua tahap restrukturisasi. 

Menurut Erry PIS juga berkomitmen mendukung dekarbonisasi. Untuk tahapan green operation dilakukan melalui rendah sulfur, mengurangi konsumsi bahan bakar dengan pengurangan kecepatan kargo – pembersihan lambung kapal secara berkala – minumum ballast navigation – pengoptimalan rencana pelayaran, kemudian ada ballasr water treatment system, dan instaasi scrubber. 

“Kami juga akan terapkan green cargo dengan penggunaan LNG, LPG, dan biodiesel.  Untuk green port mengurangi port time dengan meminimalisasi polusi udara di pelabuhan, mengurangi emisi gas CO2 dengan mengatur kecepatan kapal keluar masuk pelabuhan mengubah bahan bakar infrastruktur pelabuhan,” ungkapnya. 

Indra Darmawan mengatakan ada ketidakpastian yang akan mengubah pola perdagangan, sehingga para pelaku shipping industri harus antisipasi. Kenaikan harga logistik memaksa beberapa negara untuk mengubah pola perdagangannya. 

“Ini akan berdampak pada para pelaku shipping industry,” ujar Indra.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: