Sejumlah pihak menggugat presidential threshold ke MK agar menjadi 0 persen. Beberapa di antaranya adalah Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Joko Yuliantono, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, dan anggota DPD Fahira Idris serta Tamsil Linrung.
Menanggapi gugatan itu, pakar hukum tata negara, Margarito Kamis angkat bicara ihwal polemik ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang digugat sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca Juga: Manuver Surya Paloh untuk 2024 Dahsyat, Anies Baswedan Kecripatan Nikmatnya
Dia yakin, permohonan uji materi tersebut tidak akan diterima.Margarito mengatakan, argumen di balik permohonan uji materi tidak komprehensif.
Menurut dia, interpretasi tentang demokrasi tidak cukup mengubah pandangan hakim MK soal presidential treshold.
"Dengan begitu, maka demokrasi tidak terluka karena itu. Maka permohonan-permohonan yang ada itu tidak bakal lolos dan diterima. Tidak bakal diterima di Mahkamah Konstitusi," ujar Margarito saat dihubungi, Minggu (2/1/2022).
Selain itu, Margarito menyebut UUD 1945 telah menjelaskan secara gamblang ihwal pengajuan calon presiden. Baik dari partai politik maupun bukan.
"Pertanyaan hukumnya adalah, apakah orang berindividu atau kelompok itu merupakan personaan dari parpol? Bagi saya tidak, karakter dari sifat hukumnya tidak. Tidak memungkinkan untuk menjadikan manusia-manusia individu itu sebagai persona di partainya," ucap dia.
"Saya memiliki keyakinan kuat bahwa permohonan itu bakal tidak diterima," sambung Margarito.
Sementara itu, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Fahira Idris, Tamsil Linrung, dan Edwin Pratama mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen dihapus.
Gugatan itu tercatat di laman MK dengan nomor 66/PUU/PAN.MK/AP3/12/2021 pada 27 Desember 2021.Dalam mengajukan gugatan tersebut, Fahira Idris dan kawan-kawan diwakili tim advokat dan konsultan hukum Say n Partners Law Firm.
Baca Juga: Dibongkar! Ini Alasan Habib Bahar Lontarkan Kalimat Kontroversial ke KSAD Dudung, Ternyata karena...
Fahira dkk meminta MK membatalkan ketentuan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
"Memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi yang terhormat pada Mahkamah Konstitusi RI untuk memeriksa, mengadili, dan memutus, menyatakan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sepanjang frasa 'yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya' bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap," demikian bunyi petitum dalam permohonan tersebut.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Adrial Akbar