Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ahli: Dunia Harus Waspada Konflik Ukraina Berkepanjangan

Ahli: Dunia Harus Waspada Konflik Ukraina Berkepanjangan Kredit Foto: Reuters/Dado Ruvic
Warta Ekonomi, Jakarta -

Para ahli mewaspadai konflik Ukraina dapat mempengaruhi pemulihan ekonomi dunia dan Indonesia. Konflik ini tidak ada yang untung bahkan yang rugi adalah ekonomi dunia keseluruhan. 

Hal tersebut disampaikan oleh Prof Azyumardi Azra, Mahfuz Siddik, Dinna P Raharja dan Fadhil Hasan dalam Zoominari Kebijakan Publik yang diselenggarakan Narasi Institute Jumat 25/2 yang dipandu Ahli Kebijakan Publik Achmad Nur Hidayat MPP.  Baca Juga: Gara-Gara Rusia Serang Ukraina, Miliarder Ini Kena Getahnya: Ada Sanksi di Depan Mata

Konflik Ukraina Berpotensi Berkepanjangan

Fadhil Hasan mengingatkan sebelum konflik Ukraina, Dunia mengalami masalah ekonomi  mengalami kenaikan harga. 

“Krisis yang terjadi di Ukraina invasi oleh Rusia ini akan memperparah krisis ekonomi di tingkat dunia," ujar Fadhil Hasan

Fadhil mengingatkan bahwa produksi minyak Rusia 10 juta Barrel per hari bila minyak rusia tidak ada di pasaran maka lonjakan harga tidak dapat dihindari. 

“Bila sanksi dunia kepada Rusia sangat keras termasuk melarang minyaknya di pasaran maka Indonesia salah satu negara pengimpor minyak terbesar di dunia akan menderita," sebut Fadhil 

Fadhil mengingatkan terkait inflasi dimana inflasi dunia sebelum serangan di Ukraina sudah meningkat.  Pertumbuhan ekonomi dunia turun akan membawa dampak pada ekonomi Indonesia juga. Indonesia sebagai negara yang ekonominya terbuka akan tertransmisi pada ekonomi domestik. 

Inflasi akan memukul daya beli masyarakat. Akan mempengaruhi pada ekspor dan impor. Akan terjadi instability pada perekonomian Indonesia. 

Fadhil berpesan Indonesia mesti bisa memitigasi pada situasi ekonomi saat ini. Pemerintah mesti fokus memitigasi segala resiko yang ada. Sementara Indonesia masih menghadapi tantangan covid 19.

Konflik Ukraina: World Game of Supremacy

Mahfudz Sidik, Sekjen Gelora mengingatkan Jangan sampai situasi yang ada digunakan untuk melegalkan ide-ide liar diluar konteksnya. 

“Jangan sampai konflik Rusia-Ukraina ini dijadikan alasan untuk menunda pemilu tahun 2024. Alasan tambahan gempa bumi di Sumbar juga bisa jadi alasan untuk menunda pemilu,” kata Mahfuz Sidik

Mahfuz Siddik memprediksi Rusia akan mengelola operasi militer dalam waktu agak panjang. 

“Melihat kepentingan Rusia di kawasan Blok Nato maka Rusia akan mengelola isu ini dalam jangka yang agak panjang," ujar Mahruz Siddik yang menjadi ketua komisi 1 DPR RI 2010-2016. 

Mahfuz ingatkan negara surrondings Ukraina ada Lituania, Estonia, Latvia minus Belarus merupakan pintu masuk kawasan yang masih belum aman bagi Rusia. Maka Rusia akan mengelola Ukraina ini dalam waktu yang lama, tinggal tensinya saja yang diatur.

Mahfuz Siddik sampaikan bahwa Rusia secara geopolitik punya dua kepentingan. 

“Secara geopolitik dan geostrategis Rusia ini punya 2 agenda penting terkait kawasan, di wilayah Barat dan wilayah Timurnya. Apakah ini akan lama atau tidak ini tergantung apakah konflik ini akan menyeret banyak aktor atau tidaknya. 

Jika eskalasi militer nya meningkat, diikuti Lithuania, Esthonia dan Latvia akan melibatkan diri karena mereka adalah negara - negara yang paling merasa terancam dengan adanya aneksasi ini. 

Selanjutnya negara-negara Barat yang tergabung dalam NATO ini akan melibatkan diri dalam konflik ini maka konflik ini akan semakin eskalatif dan lama tapi kalau tidak dan Ukraina dibiarkan sendirian maka Rusia akan dengan cepat mengontrol permainan ini dan bisa menentukan berapa lama dan eskalasi seberapa besar, Rusia ada di atas angin. 

Jika Indonesia lihat Jerman, Amerika dan lembaga Keuangan dunia meresponnya dengan memberikan sanksi ekonomi kepada Rusia. Pertanyaannya apakah sanksi ekonomi ini akan membuat Rusia ini mundur dari Ukraina kalau saya menjawab tidak

Sanksi ekonomi akan memberikan impact kepada Rusia secara ekonomi kepada satu negara dan apakah ini akan memberikan impact secara kawasan dan secara global karena tekanan ini pasti akan ada dampak seperti naiknya harga minyak dunia dan akan banyak negara terimbas. 

“Saya punya satu perspektif konflik ini sebagai World Game of Supremacy jadi ini permainan pertarungan kekuatan-kekuatan global bertarung supremasi," sebut Mahfuz Siddik. 

Dalih Krisis Ukraina Dan Tiga Periode Jokowi

Prof Azyumardi Azra ingatkan dampak Ukraina-Rusia menyebabkan aspek ekonomi posisi indonesia makin sulit. 

“Sekarang saja harga-harga tak terkendali, mulai minyak makan dan kedelai. Tidak ada langkah yang mencerminkan sense of crisis dari pemerintah. Kalau menteri perdagangan hanya inpeksi kesana kemari atau meluncurkan pasar murah tidak akan efektif."

Azyumardi Azra ingatkan solusi harga saat ini adalah dengan memanggil delapan naga penguasa pasar pangan. 

“Saya berpikir presiden harus memanggil delapan naga yang menguasai pasar minyak makan. Tapi saya belum melihat reaksi Jokowi selama ini tapi dia lebih sibuk mengawasi booster vaksinasi untuk lansia. Sementara langkah-langkah yang dramatis yang mencerminkan sense of urgensi belum terlihat. Yang terlihat hanya menteri perdagangan keliling kemana-mana membagi-bagikan minyak makan murah dan polisi lokal yang sibuk mencari-cari penimbun minyak. Jika zaman pa Suharto kartelnya dipanggil sehingga tidak berkutik tapi rezim ini membiarkan saja," ujar Azyumardi Azra

Azyumardi Azra sampaikan bahwa Serbuan Rusia ke Ukraina akan membuat Indonesia semakin sulit. 

“Indonesia kebutuhan BBM perhari seIndonesiar 1.400.000 barel tapi produksi dalam negeri dari dulu hanya 700.000 barel. Lifting minyak tidak pernah berhasil. Ini akan membuat pemerintah Indonesia semakin kedodoran dan yang paling menderita adalah rakyat. Kalau untuk kelas menengah, jika tidak ada tahu tempe tidak masalah tapi yang hidupnya tergantung dari memproduksi tahu tempe jika berhari-hari tidak ada produksi maka kehidupannya terganggu. Masyarakat bawah yang sudah terhimpit oleh covid 19 dan belum ada upaya efektif untuk pemulihan ekonomi mereka,” ujar Guru Besar UIN tersebut. 

Azyumardi ingatkan narasi elit politik untuk memperpanjang tiga periode Jokowi adalah logika fatalis yang menunggangi kondisi krisis Ukraina. 

“Ada pernyataan dari Zulkifli Hasan, Ketua PAN yang menyatakan bahwa masa presiden harus diperpanjang 2 tahun lagi dengan alasan adanya Krisis Rusia Ukraiana. Ini adalah langkah-langkah Inkonstitusional. Tidak sehat bagi kehidupan demokrasi serta kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan pihak-pihak yang menentang dan bersikukuh dari PKS, Demokrat, PDIP akan membuat kegaduhan yang lebih besar. Ditambah lagi oleh Indonesia yang menentang yang tidak menyetujui amandemen UUD 45 untuk memperpanjang masa jabatan Presiden 3 kali."

Azyumardi menyatakan bahwa Krisis ini potensial menimbulkan kegaduhan politik karena diangkat menjadi alasan untuk memperpanjang masa jabatan presiden. 

“Menurut saya tidak masuk akal karena tidak ada hubungan dengan politik Indonesia,” ujar Prof Azyumardi Azra. 

Krisis Ukraina adalah Konflik Supremasi AS dan Rusia di Eropa Timur

Dinna P Raharja, Pendiri Synergy Policies mengatakan bahwa asal muasal konflik Ukraina-Rusia adalah konflik supremasi dikawasan Timur antara Rusia dan Nato-AS.

“Serangan Rusia ke Ukraina memang mengagetkan tapi yang paling penting Indonesia jangan sampai hilang arah, harus tetap kritis. Ukraina setelah perang dingin usai punya masalah-masalah domestik yang besar termasuk Amerika juga Rusia dan negara-negara Uni Eropa. Kalau Indonesia luput melihat konstelasi tersebut Indonesia cenderung akan terbawa oleh framing media masa yang notabene ada di framing oleh masing-masing kelompok. 

Ketidakpercayaan akan Kepemimpinan AS

“Catatan saya bahwa Konteks global sudah berubah sejak 2008 dengan adanya krisis yang menghempas Amerika dan Uni Eropa. Sejak krisis itu Uni Eropa bangun kesadarannya bahwa tidak bisa lagi mengandalkan relasi jangka panjang yang terlalu besar dengan Amerika Serikat."

Demikian pula Amerika Serikat bangkit kesadarannya bahwa urusan Uni Eropa harus dibagi beban. Apalagi ternyata AS harus berurusan dengan masalah terorisme yang kebetulan yang pertama ada serangan itu di AS. Kalau melihat konteks global secara ekonomi finansial banyak perubahan di internal. 

Ukraina sendiri secara ekonomi memproduksi ini dan itu tapi dibandingkan negara-negara ex jajahan Soviet Ukraina masih relatif tertinggal, misalnya dibandingkan dengan negara-negara Baltik. Ukraina ingin mempunyai nilai tawar lebih. Rusia berusaha mendekat dengan Uni Eropa dan AS, tapi kenyataannya Rusia harus jaga jarak, ada hal-hal diplomasi yang tidak ketemu. Disisi yang lain pada dasarnya Unilateralisme atau gerakan untuk mengambil tindakan sepihak secara militer semakin menjadi-jadi. 

Sejak krisis 2008 makin memperkuat, diawali dengan AS yang menginfasi Irak dan Afganistan sehingga negara-negara lain melihat tindakan invasi tersebut tidak apa-apa. Dan tidak ada solusi yang mematikan/melumpuhkan yang dilakukan lewat PBB. 

Akibat Ketidakpercayaan, Eksalasi Kawasan Eropa Timur Meningkat

Dinna mengatakan "Secara kontekstual Indonesia harus menyadari bahwa situasi global sudah berubah dan tingkat ketidakpercayaan semakin tinggi. Rusia juga dalam posisi terpojok. Ukraina juga terdesak, karena keinginan untuk menjadi anggota NATO digantung terus, diberi bantuan dari dana AS pun hanya secukupnya saja. Dan secara domestik Ukraina ada masalah dengan kepemimpinannya.

Untuk krisis di Ukraina Indonesia harus melihatnya dengan gambaran yang lebih makro. Bukan masalah Ukraina-nya saja tapi geopolitiknya harus Indonesia pertimbangkan.

Dampak Krisis Ukraina Bagi Indonesia

Dinna mengatakan bahwa dampak perang Ukraina untuk Indonesia adalah ekonomi dan non ekonomi.

"Secara jangka pendek untuk ekonomi tentunya daya beli negara-negara yang berkonflik akan turun. Rusia kalaupun dikenai macam-macam secara data Rusia akan Survive. Dalam perdagangan, mitra terbesar Rusia adalah Cina. Dan Cina hari ini dalam posisi tidak mau menekan Rusia. Menjaga jarak juga karena dia menyadari narasi AS sejak masa kepemimpinan Trump yang semakin mendesak Cina. Sehingga Cina harus berhati-hati. Rusia justru diuntungkan dengan adanya sanksi tersebut karena harga komoditas migas justru semakin meningkat sehingga menambah surplus bagi Rusia," Ujar Dinna 

Harga Komoditas Naik Menurunkan Daya Masyarakat

Dinna meminta publik melihat perang Ukrainan dalam bingkai kepentingan Rusia dan Uni Eropa.

"Jika Indonesia melihat negara-negara Uni Eropa, Indonesia melihat taktiknya Putin berani menyerang duluan karena ternyata kalau Rusia jatuh karena ditekan maka yang ikut jatuh perekonomiannya adalah negara-negara Eropa. Dalam satu dua hari ini harga migas di Uni Eropa sudah naik dua kali lipat. Harga pangan meningkat dengan cepat. Mitra dagang kedua terbesar dari Rusia adalah Uni Eropa. Jadi yang akan terluka bukan hanya pejabat-pejabatnya tapi justru masyarakat umum yang memproduksi makanan dan petani-petani kecil," pungkas Dinna

Dinna mengatakan, "Efeknya jangka pendek buat Indonesia adalah penurunan konsumsi terhadap CPO dari Indonesia dan produk-produk sekunder seperti textil, produk-produk lainnya."

Israel Memanfaatkan Konflik Ukraina, Melakukan Invasi ke Suria

Dinna mengingatkan bahwa aspek non ekonomi yang harus diantisipasi oleh Indonesia adalah agenda politik luar negeri Indonesia. 

"Seperti Agenda Israel Palestina, Indonesia harus waspada juga karena dalam beberapa hari belakangan ini Israel bangkit menyerang Suriah karena Iran sudah bermain lagi disana. Indonesia luput melihat itu semua karena melihat masalah Ukraina. Dampaknya agenda Indonesia di Palestina, Posisi Indonesia di Palestina makin sulit karena Palestina semakin di pecah dan dikoptasi dan makin sulit untuk Independen."

Agenda untuk Indonesia

"Dalam jangka panjang yang harus Indonesia antisipasi adalah narasi geopolitik di kawasan Indonesia terhadap Cina, terhadap Indo Pasifik termasuk ASEAN karena 2023 Indonesia menjadi ketua di ASEAN. Kalau sampai Putin kekuatannya untuk bermain di Ukraina berjangka panjang, AS dibuat tidak pasti tapi masih ada ancaman-ancaman maka terjadi ketidakpastian yang berkepanjangan di kawasan. 

Cina juga semakin akan merasa terancam, dan Indonesia tidak tahu Biden kalau dia mentok di Putin bisa jadi dia beralih lagi ke kawasan Indonesia. 

Belanja Alutista Menjadi Mahal

Indonesia kena dampaknya seperti saat Indonesia pembelian alutista Indonesia gagal membeli yang lebih murah dari Rusia karena ditekan oleh AS untuk menghindari pembelian dari Rusia. Artinya independensi yang Indonesia cari menjadi lebih sulit dari segi politik luar negeri. Itulah beberapa hal yang perlu di antisipasi artinya untuk urusan luar negeri Indonesia tidak lagi berasumsi situasinya masih tenang-tenang saja. 

Politik Luar Negeri Indonesia Harus Lebih Agresif

Ini benar-benar terjadi percepatan ketegangan di tingkat global dimana mekanisme yang biasanya dipake oleh Indonesia seperti G20, ASEAN, PBB yang biasanya bisa Indonesia masuki dengan menaruh agenda disana, sekarang akan makin terblokir, makin sulit bagi Indonesia karena harus mengalokasikan lebih banyak resources untuk memobilisasi banyak dukungan dari negara-negara lain diluar dari skema itu. 

Artinya Indonesia harus lebih militan membangun dukungan ini agar agenda bisa masuk di tingkat internasional. Itupun pasti akan resisten berhadapan dengan Cina, Rusia, AS dan tentunya bahasa-bahasa yang Indonesia gunakan harus lebih convincing (meyakinkan) dan lebih mendesak mereka bahwa ini urgen. 

Tidak ada jalan lain, ini harus dibawa lagi ke meja perundingan. Misalnya soal perlombaan bersenjata harus ada regulasinya yang baru. Jangan seperti sekarang AS masih lepas dari regulasi soal senjata balistik Middle Range. Hal-hal ini adalah agenda-agenda besar dari Indonesia, Indonesia tidak hanya bicara ekonomi saja tapi agenda harus berani masuk ke isu-isu seperti itu.

"Sepertinya pertikaian ini akan panjang dimainkan oleh Rusia karena Rusia mempunyai cadangan devisa yang cukup tinggi sehingga ini menjadi poin bagi Rusia untuk bisa melemahkan AS dan sekutu-sekutunya di Uni Eropa," Ujar Dinna.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Lestari Ningsih

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: