Lusiana bercerita, profit yang didapat HashMicro digunakan untuk reinvestment dengan cara merancang produk baru untuk market yang lebih luas. Misalnya, HashMicro mematangkan adaptabilitas software untuk setiap industri, meluncurkan fitur Artificial Intelligence (AI) yang akan mendukung kerja dari software ERP yang sudah ada, dan melahirkan dua anak perusahaan yang menyasar pasar berbeda.
Strategi reinvestment ini harus didukung pula dengan riset yang baik. Perusahaan rintisan harus rajin mempelajari tren-tren industri, memperbarui pengetahuan secara daring, dan bangun jejaring dengan perusahaan lain untuk membangun kerja sama.
Baca Juga: Telkomsel Ekosistem Digital & AMAB Goto Group Bentuk JV “Majamojo”, Garap Bisnis Gaming Asean
Simpulan: Bootstrapping tidak mudah, tapi tidak mustahil
Membangun perusahaan tanpa investor bisa memberikan kebebasan dalam mengambil keputusan dan membangun produk baru, tapi tantangannya pun berat: butuh kreativitas, ketekunan, disiplin, kepercayaan diri, dan kemampuan manajemen yang baik untuk bisa sukses.
"Perjalanan HashMicro bisa melewati masa bootstrap hingga menjadi perusahaan yang sudah sustain tidak mudah. Kami harus keluar dari zona nyaman, berusaha untuk tidak membuat kesalahan dan menginvestasikan waktu untuk menciptakan produk terbaik. Pada akhirnya, itu semua terbayarkan," pungkas Lusiana.
Hingga saat ini, HashMicro berhasil menggaet projek besar dan memiliki beberapa cabang perusahaan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Singapore dengan lebih dari 600 karyawan yang bergabung menjadi bagian dari HashMicro.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: