Pak Jokowi Tolong 'Sentil' Menterinya, Masalah Minyak Goreng Makin Runyam: Jangan Salahkan Rakyat!
Kelangkaan minyak goreng membuat masyarakat membeli secara berlebihan atau melakukan aksi panic buying. Ada saja warga yang menimbun minyak, buat stok masak di rumah.
Wakil Ketua MPR Syarief Hasan mengingatkan, rakyat tidak bisa disalahkan dengan keadaan ini. Karena memang, minyak goreng langka dan tidak ada jaminan harga yang wajar.
“Saya minta segenap aparatur Pemerintah tidak menuding rakyat sebagai pihak bersalah atas krisis minyak goreng yang sudah terjadi selama berbulan-bulan,” pinta Syarief dalam keteranganya, kemarin.
Baca Juga: "Lu Kok Bisa Dapet Minyak Goreng Banyak?" Jawaban PSI Menggelegar Eh Admin Gerindra Ikut Disenggol
Menurut Syarief, bagaimana mungkin Pemerintah menuding dan menyalahkan warganya atas aksi panic buying membeli dan menyimpan minyak goreng.
Selain tudingan ini tidak dapat dibuktikan, menyalahkan aksi panic buying adalah bentuk kegagalan Pemerintah menjamin ketersediaan bahan pokok.
Bahkan, kata mantan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) ini, apa yang dilakukan Pemerintah selama krisis minyak goreng, tidak berdampak apa-apa terhadap stok dan harga yang wajar.
Di berbagai daerah, dia mengaku terus mendapatkan laporan kelangkaan dan tingginya harga bahan pokok di semua pasar tradisional maupun modern.
“Masyarakat kesulitan mendapatkan minyak goreng di negara surga sawit. Ini anomali sekaligus fakta yang memilukan,” kritik politikus Partai Demokrat ini.
Untuk itu, Syarief berharap Presiden Jokowi mengingatkan pembantu-pembantunya agar segera menyelesaikan perkara minyak goreng. Berkali-kali dia mengingatkan Pemerintah agar serius dan fokus menyelesaikan perkara mendasar dan kebutuhan pokok rakyat.
“Janganlah kita berbicara hal-hal besar jika perkara mendasar rakyat saja tidak dapat diselesaikan. Padahal rakyat tidak minta yang muluk-muluk, cukupkan kebutuhan mendasar, apalagi rakyat sudah terlampau menderita di tengah pandemi Covid-19,” tegasnya.
Selain itu, Syarief mendesak persoalan ini diselesaikan dari hulunya, membongkar krisis minyak goreng dari akarnya. Sungguh tidak dapat diterima akal sehat jika negara penghasil dan eksportir sawit terbesar di dunia mengalami kelangkaan pasokan minyak goreng dalam jangka waktu yang sangat lama.
Pemerintah mesti tegas menindak berbagai pihak tidak bertanggung jawab yang menyebabkan terjadinya krisis ini.
“Negara tidak boleh kalah dan mengorbankan rakyatnya. Kecuali akar persoalannya memang di Pemerintah sendiri,” wanti-wanti dia.
Sementara, Anggota Komisi VI DPR Nusron Wahid mendesak Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi segera mengambil kebijakan larangan ekspor CPO (Crude Palm Oil). Hal ini guna menstabilkan kepanikan di masyarakat akibat kelangkaan minyak goreng.
“Sekarang saatnya Menteri Perdagangan harus menunjukkan taringnya. Larang ekspor CPO untuk sementara sampai harga stabil,” usul Nusron dalam keterangannya, kemarin.
Dengan cara itu, kata Nusron, pasti akan ketahuan siapa pengusaha yang tidak taat terhadap penerapan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO).
Setelah itu, cabut izin usaha dan Hak Guna Usaha (HGU) industri dan pabrik yang tidak nurut DMO dan DPO.
Menurut Nusron, kebijakan DMO dan DPO ternyata tidak mampu mengatasi kelangkaan minyak goreng. Faktanya, saat ini ribuan orang antre beli minyak goreng terjadi di mana-mana. Harga juga tidak sesuai dengan patokan Rp 14 ribu per liter.
Baca Juga: Rakyat Menjerit Keras Soal Minyak Goreng, Menterinya Jokowi Tegas Beri Ancaman Buat yang "Bermain"
“Kebijakan DMO dan DPO telat. Masyarakat kadung tidak percaya. Panic buying terjadi di mana-mana. Begitu ada barang di pasar, langsung diserbu,” kritik politikus Golkar ini.
Sebetulnya, kata Nusron, dua pekan sebelum diberlakukan DMO dan DPO pada Januari Pemerintah sudah memberlakukan single harga di konsumen akhir Rp 14 ribu per liter. Padahal harga keekonomian menurut pengusaha Rp 19 ribu per liter. Akibatnya, Pemerintah mensubsidi konsumen melalui produsen sebesar Rp 5 ribu per liter.
Dalam praktiknya, produsen masih kucing-kucingan dan ogah-ogahan menjual barang di harga Rp 14 ribu per liter. Alasannya, ketakutan diaudit karena terima subsidi, sehingga penimbunan terjadi di mana-mana. [TIF]
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Bayu Muhardianto
Tag Terkait: