Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tak Takut Ombak Besar, CEO Akulaku Finance Sambut Baik Pesaing Baru

Tak Takut Ombak Besar, CEO Akulaku Finance Sambut Baik Pesaing Baru Kredit Foto: Akulaku

Sebagai seorang CEO perusahaan dengan fokus peminjaman serta pembiayaan berbasis digital, bagaimana tanggapan Anda dengan menjamurnya layanan sejenis?

Sebenarnya sudah sesuatu yang tidak salah karena di mana-mana juga bisanya tren akan ikut-ikutan. Yang namanya ikut-ikutan dan biasanya yang akan bertahan yang memang menjadi pionirnya.

Dengan kata lain, kami senang-senang saja karena kami juga tidak punya hak untuk melarang orang untuk ikut-ikutan, tetapi bagi yang niatnya hanya sekadar ikut tren, ini agak bahaya karena takutnya nanti setengah jalan sudah setop karena bisnis dilakukan setengah hati, menurut saya, apalagi yang tidak fokus begitu ya repot.

Bagi kami semakin banyak pemain, juga akan semakin merasa tertantang. Jadi kalau tidak ada tantangan, tidak ada kompetisi tidak enak. Saya melihat bahwa yang namanya kompetisi, banyak pemain sebenarnya tantangan bagi kita untuk bisa menjadi lebih baik. Mau tidak mau dalam lingkungan persaingan akan membuat dan mendorong kita dan memodifikasi kita untuk menjadi lebih baik.

Lalu bagaimana tanggapan Anda dengan permainan bisnis yang semakin ketat saat ini? Apakah Anda punya strategi tertentu?

Kalau dibilang bisnis yang semakin ketat, iya. Saya melihat begini, terutama bahwa market yang akan dimasuki oleh Akulaku Finance sebenarnya market yang unbankable. Kalau kami lihat, bahwa dari 170 juta masyarakat Indonesia, yang bankable hanya 23%, artinya masih ada 77% yang unbankable. Kalau masyarakat yang punya potensi baik ini tidak ada yang bisa melayani, tidak ada yang bisa mendukung, bagaimana UMKM bisa naik? Bagaimana kita bisa melakukan pembangunan ekonomi nasional?

Biarlah yang bankable menjadi urusan banking dan yang unbankable menjadi urusan Akulaku. Dari yang ambil bankable sebenarnya sudah punya credit card holders hanya 5%. Jadi, Akulaku memberikan suatu terobosan bagaimana masyarakat yang unbankable bahkan yang underserved, kami berikan fasilitas atau platform seperti credit card dan mereka boleh beli atau belanja apa saja sepanjang dia punya platform itu, selama pembayaran dia lancar, serta tanpa ada agunan.

Bagaimana kami minta mereka jaminan kalau mereka hanya punya keahlian, punya network, gitu kan? Sedangkan yang kami lihat adalah secara attitude mereka mau, tapi mereka tidak mampu menyediakan sejumlah jaminan. Orang, masyarakat golongan seperti inilah yang kami bantu, yang kami support, sehingga mereka bisa dipercaya akan bisa berproduksi dengan sarana yang mereka butuhkan.

Sebagai contoh, misalnya sekarang mungkin Anda setuju bahwa handphone bukan lagi sebagai sarana konsumtif bahwa siapapun berani bilang handphone sekarang adalah sarana produktif. Bayangkan, banyak ibu-ibu atau mungkin anak muda, generasi muda yang sebenarnya mengisi waktu luang mereka bisa sebagai reseller, bisa posting produk mereka di Instagram, semuanya menggunakan handphone. Jadi, saya mengatakan bahwa sebenarnya saat ini mostly yang namanya handphone ini sudah menjadi sarana produktif dan bukan lagi sarana konsumtif.

Hal seperti ini yang bisa kami bantu untuk penjualan, untuk pendanaan, kemudian pembiayaannya, termasuk hal-hal yang dibutuhkan oleh para pengusaha UMKM. Ini contoh misalnya mereka punya home industry atau mereka usaha jualan di depan rumah atau di sekolah, butuh misalnya dispenser, butuh misalnya juicer. Semuanya ini sebenarnya adalah sarana-sarana yang bisa digunakan untuk produktif untuk mendukung home industry dan juga bisnis-bisnis UMKM.

Kedua, kenapa kami tidak begitu khawatir karena perusahaan-perusahaan pembiayaan yang akan bertransformasi masuk ke bisnis ini bukan sesuatu yang mudah. Ini juga bisa menjadi suatu entry barrier bagi sesama pelaku industri terutama perusahaan pembiayaan yang selama ini sudah terlampau nyaman di zonanya.

Menurut Anda sebagai CEO bagaimana suatu perusahaan bisa membantu meningkatkan inklusi keuangan suatu negara? 

Kalau kita bicara mengenai inklusi keuangan, langsung straight to the point saja karena selama ini yang kami lihat inklusi lebih banyak melalui edukasi dan literasi yang dilakukan misalnya ke perguruan tinggi, kampus-kampus. Nah, yang kadang-kadang bagi akademisi, bagi mahasiswa, mereka hanya melihat bahwa oh ya ini hanya sekadar pengetahuan.

Saya melihat kalau kita mau meningkatkan inklusi misalnya di 2024, Presiden juga sudah menargetkan, kita punya tim inklusi keuangan, harus sampai di angka 90%. Ini masih ada dua tahun lagi bagaimana membuat dari 75% ke 90%, mudah-mudahan bisa.

Saya melihatnya akan lebih cepat bisa kita capai kalau langsung straight to the point, langsung ke sasaran. Artinya kalau kita misalnya mau meningkatkan literasi khususnya siapa sih pelaku industri paling banyak? Ini ada UMKM misalnya atau ibu-ibu, ya sudah kumpulkan mereka. Itu yang bisa kita lakukan, lalu juga siapa ini yang bisa kita edukasi? Oh nelayan, maka kumpulkan saja nelayan, kerja sama dengan Kementerian Kelautan dalam satu tempat, misalnya aula serbaguna, kita sampaikan apa program kita, kemudian kita dengarkan atau apa yang mau mereka lakukan, kemudian kita sepakati dan kita tindak lanjuti.

Itu yang harus dilakukan sehingga mereka tahu apa yang pelaku-pelaku ini ingin lakukan. Ini sudah saya lakukan karena inklusi akan lebih efektif kalau langsung dan tepat sasaran dan langsung kepada komunitas. Kalau misalnya hanya di seputaran kampus dan lain-lain, lebih k menjadi konsumsi orang-orang akademisi saja yang mungkin dari sekian banyak mahasiswa yang ikut paling berapa sih yang akan menjadi pelaku? Nah, syukur-syukur pada saat dia mungkin skripsi, mungkin terjun ke masyarakat. Jadi, menurut saya langsung straight to the point saja.

Di samping inklusi keuangan, bagaimana pendapat Anda soal tingkat literasi keuangan yang ada di Indonesia? Pernahkah Anda menemukan kasus di Akulaku Finance ada yang bisa pinjam tapi tidak bisa mengembalikan pinjaman?

Itu ada dan lumayanlah. Kalau kami bandingkan dengan customer kami yang jutaan, mungkin nol koma sekian persen, tapi saya ingin mengatakan bahwa prinsipnya ada dan hampir dalam setiap bulan kami mendapatkan kasus-kasus seperti itu. Paling banyak waktu itu kami rasakan pada saat pemerintah mengumumkan Indonesia Covid pada Maret 2020.

Kemudian Presiden meminta supaya ada relaksasi. Atas Instruksi Presiden ini, OJK mengeluarkan peraturan peraturan OJK Nomor 11 dan 14 terkait relaksasi. Relaksasi bisa dalam bentuk restrukturisasi, jadi bisa dalam rescheduling terhadap nasabah-nasabah yang usahanya terdampak oleh Covid sehingga mereka lemah atau tidak punya daya bayar.

Jadi, kebanyakan yang kami hadapi adalah kasus-kasus konsumen seperti ini dan biasanya kami berikan relaksasilah. Bisa kami berikan dulu kesempatan berapa bulan, enam bulan misalnya untuk membayar angsuran dulu, mudah-mudahan sudah bisa recovery usahanya.

Nanti kalau sudah mampu, kami lanjut lagi kalau tidak nanti coba diskusikan lagi, kami bicarakan lagi apa masalahnya. Apalagi seperti yang diketahui Covid ini kan sudah ada dari 2020 mungkin baru kemarin PPKM sudah dicabut atau minimal karantina sudah tidak ada lagi. Artinya kondisi saat ini pun belum boleh dikatakan membaik, sehingga usaha ini, bisnis ini terutama bisnis UMKM belum pulih 100%.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Nuzulia Nur Rahma
Editor: Rosmayanti

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: