Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kebijakan Pemerintah Picu Inflasi Lebih Tinggi, Bagaimana Nasib Rakyat?

Kebijakan Pemerintah Picu Inflasi Lebih Tinggi, Bagaimana Nasib Rakyat? Aktivitas jual beli di Pasar Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Kamis (1/8/2019). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat laju Inflasi Juli 2019 mencapai sebesar 0,31 persen dengan inflasi tahun kalender 2,36 persen dan inflasi tahun ke tahun mencapai 3,32 persen. | Kredit Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Warta Ekonomi, Jakarta -

Harga kebutuhan pokok yang melonjak tajam dikhawatirkan bakal meningkatkan inflasi. Apalagi, pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) juga listrik di bulan Ramadhan ini. Kondisi ini tentu terasa berat bagi masyarakat yang ingin melaksanakan ibadah puasanya dengan hikmat, namun dibayangi harga-harga kebutuhan pokok yang begitu tinggi.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, menjelang ramadhan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Maret 2022 mengalami inflasi sebesar 0,66% secara bulanan (month-to-month/mtm). Menurut BPS, inflasi Maret 2022 merupakan tertinggi sejak Mei 2019. Sedangkan secara tahunan, inflasi pada Maret 2022 mencapai 2,64% (year-on-year/yoy) dan secara tahun berjalan mencapai 1,20% (year-to-date/ytd).

Adapun tiga penyumbang terbesar inflasi Maret 2022 berdasarkan kelompok pengeluaran, yaitu kelompok makanan, minuman, dan tembakau, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga, serta perawatan pribadi dan jasa lainnya. Kelompok makanan, minuman dan tembakau mengalami inflasi sebesar 1,47% (mtm) dan memberikan andil terhadap inflasi sebesar 0,38%.

Kepala BPS, Margo Yuwono menyampaikan pada April ini inflasi diperkirakan bakal meningkat karena dipicu oleh beberapa hal yang berpotensi akan menggerakkan tingkat inflasi.

"Ada demand yang polanya meningkat di bulan Puasa atau Lebaran sedangkan di sisi lain ada kebijakan pemerintah yang berpotensi untuk terjadinya inflasi. April ini dugaan saya tinggi (inflasi), karena ada banyak tekanan dari faktor eksternal,” jelas Margo dalam diskusi virtual bertema 'Harga Kian Mahal, Recovery Terganggu?' di Jakarta, Kamis (7/4/2022). Baca Juga: BI Tetap Pertahankan Suku Bunga, Sambil Pantau Inflasi dan Dampak Konflik Rusia dan Ukraina

Dirinya mengungkapkan, momentum bulan Puasa dan menjelang Idul Fitri turut mendorong permintaan beberapa bahan pokok. BPS sendiri mencatat terdapat peningkatan harga pada cabai merah, minyak goreng, dan telur ayam ras di Maret. Kemudian, bahan bakar rumah tangga dan emas perhiasan juga menjadi beberapa komoditas yang menyumbang inflasi.

Ditambah lagi dari sisi kebijakan, pemerintah sendiri telah mengeluarkan beberapa kebijakan yang berpotensi meningkatkan inflasi sejak Januari lalu. Kebijakan tersebut antara lain adalah penyesuaian harga LPG pada 27 Februari 2022. penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax per 1 April 2022, dan penyesuaian PPN menjadi 11% di 1 April 2022.

Margo pun mengatakan, potensi peningkatan inflasi yang tinggi harus segera diantisipasi. Menurutnya ada beberapa dampak dan bahaya yang bisa timbul dari peningkatan inflasi yang tidak terkendali.

Pertama adalah dampak pada penurunan daya beli masyarakat. Kedua, inflasi yang tinggi di bahan pangan akan membebani masyarakat menengah bawah. Ketiga, inflasi yang tidak terkendali dalam jangka panjang akan menambah angka kemiskinan yang ada.

Keempat, inflasi yang tinggi terjadi akan menganggu kinerja mitra dagang yang akhirnya mengurangi output perekonomian. Kelima dan terakhir adalah berkurangnya output perekonomian akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja yang akan menambah tingkat pengangguran.

Senada dengan Margo, Ekonom senior Faisal Basri pun menyampaikan, tingkat inflasi yang tinggi akibat lonjakan harga pangan akan membuat angka kemiskinan cenderung meningkat. Bahkan, kata dia, jumlah orang miskin diproyeksikan akan kembali double digit dari posisi saat ini, single digit. "Akan ada legacy (warisan) yang hilang kalau inflasi tinggi jumlah orang miskin akan double digit lagi. Padahal, Pak Jokowi ingin hilangkan angka kemiskinan," tegas Faisal. Baca Juga: BI Beberkan Penyebab Inflasi Maret 2022 Naik jadi 0,66%

Di diskusi yang sama, Ketua Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI), Muhammad Edhie Purnawan menghimbau pemerintah Indonesia untuk bisa mewaspadai hal tersebut. Dirinya menyarankan agar koordinasi antara regulator seperti Bank Indonesia (BI) dan Pemerintah perlu ditingkatkan untuk menjaga laju inflasi hingga akhir 2022. Apalagi, ada kekhawatiran kenaikan harga-harga yang terjadi belakangan ini seperti BBM hingga minyak goreng bisa memicu inflasi 2022 lebih tinggi dari perkiraan Pemerintah yang dipatok sebesar 3,0%.

"Inflasi is everyday is everywhere. Persoalan harga-harga yang meningkat, persoalan macam-macam termasuk seperti persoalan pandemi. Inflasi itu sama seperti perampok, mematikan. Jadi kita sebagai bangsa Indonesia harus mempersiapkan untuk mengantisipasi hal-hal ini," tambahnya.

Apalagi, lanjut Edhie, dari sisi eksternal, perang Rusia-Ukraina telah membuat banyak pihak cemas akan kondisi perekonomian global. Invasi Rusia ke Ukraina juga semakin membuat rumit kondisi inflasi dan kenaikan harga komoditas secara global. Tercatat, Inflasi Eropa naik mencapai 7,5% per Maret 2022, atau lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang tercatat di angka 5,9%.

"Inflasi ini adalah situasi ekonomi yang saya kira akan lama selesainya baik ditingkat global maupun di Indonesia juga. Saya kira semuanya tahu penyebab inflasi pertama demand dan supply, kali ini ditambah dengan perang Rusia-Ukraina," jelasnya. 

Dalam diskusi yang sama, Anggota Komisi XI DPR-RI M. Misbakhun pun meminta ketegasan pemerintah dalam memberantas mafia minyak goreng. Ia mengungkapkan negara punya kekuasaan dan wewenang untuk melarang oknum tersebut beroperasi. Hal ini sejalan harga minyak goreng yang begitu tinggi, sehingga dapat memicu tingkat inflasi. “Kalau negara tidak tegas dalam hal ini, saya yakin akan lama (penyelesaian),” ujar dia.

Selain harga minyak goreng, Misbakhun juga menyoroti kenaikan harga BBM yang terjadi belakangan ini. Ia menilai kenaikan BBM sangat menggangu karena pengaruh ke inflasinya cukup banyak, seperti produksi, dan transportasi.

“Kebijakan terkait BBM harus dikonsolidasikan ulang, supaya dapat dilihat dampak-dampak ekonominya secara makro. Menurut saya, karena hal ini, recovery secara makro pasti terganggu,” paparnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman

Bagikan Artikel: