Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Melihat Wartawan Rosihan Anwar dari Bukunya

Oleh: Nasihin Masha, Penulis

Melihat Wartawan Rosihan Anwar dari Bukunya Kredit Foto: Antara/Fanny Octavianus/edit oleh tim WE

Modernisasi

Salah satu ciri tulisan Rosihan adalah ringan mengalir. Merangkai fakta-fakta seolah tanpa diimbangi pemikiran. Hanya sesekali ia mengeluarkan frasa yang kuat, nyelekit, dan tentu tajam. Semua itu justru menunjukkan bahwa Rosihan memiliki kecerdasan dan sekaligus kedalaman serta keluasan wawasan. Sikap dasar sebagai wartawanlah yang membuat tulisannya seolah hal yang ringan: agar mudah dicerna. Tapi hanya orang cerdas dan berwawasan yang bisa menjelaskan hal rumit dengan sederhana dan mudah.

Rosihan adalah lulusan AMS-A bagian klasik Barat. Ini saja sudah menjelaskan tentang sumur yang ia timba merupakan studi yang sangat serius. Lalu, duetnya bersama Soedjatmoko mengasuh majalah Siasat menjadi penjelasan lainnya. Jika kita membaca tulisan-tulisan Soedjatmoko maka bagi orang awam harus sering ambil napas: tulisannya sangat serius dan berat. Dalam versi yang lebih ringan, tetapi tetap saja berat, kita bisa membaca tulisan Rosihan tentang modernisasi. Ia menulis buku berjudul Masalah-Masalah Modernisasi. Atau kita bisa menemukannya pada subbab Revolusi Modernisasi pada buku Menulis Dalam Air. (Sayang saya gagal mendapatkan buku Masalah-Masalah Modernisasi sehingga tulisan tentang ini hanya bersumber dari Menulis Dalam Air).

Baca Juga: Kisah Pejuang Sukses Para Penerima Beasiswa BPI

Setelah Pedoman dibredel pada 1961, Rosihan memiliki waktu luang untuk terlibat dalam suatu studieclub. Tempatnya di rumah Maruli Silitonga. Pesertanya Soedjatmoko, Oyong PK (salah satu pendiri Kompas), Onghokham, Soe Hok Djie (Djin? Atau Gie?), Peransi, dan Zakse. Di sini mereka membahas tentang apa itu modernisasi. Mereka mengulas Barbara Ward, Daniel Lerner, Eric Hoffer, WW Rostow, dan lain-lain para pemikir modernisasi. Buku Clifford Geertz, antropolog yang meneliti Indonesia, yang berjudul Agricultural Involution dan baru terbit, juga ikut dibahas.

Uraiannya ringkas, padat, dan dalam. Cukup sembilan halaman, tapi sudah tercakup semuanya. Tak hanya menjelaskan latar belakang, kajian, dan tantangannya, tapi juga termasuk masukannya agar modernisasi tetap relevan dengan Indonesia. Rosihan memulainya dengan definisi modernisasi. Ia memulainya dengan Ward lalu dilanjutkan dengan Lerner. Kira-kira ringkasnya seperti ini: Setelah negara-negara terjajah merdeka, ada kebutuhan bagi bangsa-bangsa baru tersebut untuk maju seperti negara-negara penjajahnya. Kata maju ini diartikan sebagai modern, dan prosesnya merupakan modernisasi. Dari sanalah muncul kata pembangunan.

Bangsa modern berarti bangsa yang berporoskan pada tiga hal, yaitu teknologi, ilmu pengetahuan, dan rasionalitas. Hal itu bertujuan untuk mengubah keadaan politik, ekonomi, dan struktur sosial. "Adapun syarat bagi perubahan di ketiga daerah tadi yang melandasi segala-galanya adalah modernisasi sikap-sikap," tulis Rosihan.

Ya, modernisasi pada akhirnya merupakan suatu paham, suatu paradigma dalam pembangunan. Ia bukan sekadar istilah. Kata "sikap" seperti yang ditulis Rosihan itu berarti mentalitas. Jadi, untuk bisa maju, mentalitas suatu bangsa harus berubah dahulu. Inilah yang kemudian dikecam oleh kaum Marxian. Namun, bagian ini tak diulas Rosihan. Ia sudah memilih paradigma modernisasi sebagai jalan menuju kemajuan. Karena itu, ia kemudian memperlihatkan problematika modernisasi dikaitkan dengan demokrasi.

Melalui Rostow, ia menjelaskan bahwa "demokrasi tidak dengan sendirinya bisa sukses di negara-negara yang mempunyai teknologi maju, yang modernisasinya telah berjalan jauh". Sebagai bukti, ia menyebutkan Jerman di masa Hitler. Sebaliknya, di masyarakat yang belum modern, demokrasi bisa berjalan. Contohnya India. "Modernisasi bukan syarat yang menentukan" demokrasi.

Dari situlah ia masuk ke pemikiran Hoffer tentang pentingnya kehadiran kaum intelektual di tengah massa. Ia membedakan antara men of words dengan the prophets. Jika sebelumnya hanya ada elite yang cuma bisa berkata-kata, kemudian lahir manusia yang menggerakkan rakyat untuk melawan penguasa. Hal itu terjadi pada abad ke-8 SM di Hebrew ketika tradisi kenabian mulai hadir. Hal itu kemudian terulang lagi pada abad ke-16 di Eropa. Kesimpulannya adalah kaum intelektual harus bersekutu dengan massa.

Namun, Rosihan mengaku "dada saya menjadi sesak" membaca penjelasan para sarjana tentang modernisasi yang menemui hambatan di negara-negara baru di Asia dan Afrika akibat himpitan faktor tradisional. Faktor tradisional itu misalnya involusi pertanian seperti yang ditemukan Geertz. Pertanian yang involutif adalah pertanian yang jalan di tempat akibat berlakunya shared poverty, kemiskinan yang dibagi, menderita bersama untuk menjaga harmoni sosial. Di sinilah Rosihan menyatakan bahwa Geertz dan lainnya tak melihat subjective will dan the will to develop dari bangsa-bangsa baru tersebut. Menurutnya, involusi harus dihadapi dengan "revolusi organisasi". Kehendak subjektif dan tekad untuk membangun di kalangan elite bangsa-bangsa baru merupakan suatu modal untuk menghadapi kebuntuan seperti yang digambarkan para sarjana Barat tersebut.

Seolah ingin membuktikan itu, Rosihan menulis diktat, katakanlah risalah, yang diberi judul Serba Aspek Pembangunan Ekonomi dan Modernisasi. Risalah itu menggunakan nama samara Pranoto. Lalu disebarkan pada Agustus 1965 ke aktivis KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) melalui adiknya, Yozar Anwar–aktivis Angkatan 66 yang menulis buku Angkatan 66 dan buku Pergolakan Mahasiswa Abad ke-20. Ia juga aktif mengisi diskusi-diskusi yang diadakan aktivis mahasiswa saat itu seperti Marsillam Simanjuntak, Muslimin Nasution, Sjahrir, dan lain-lain yang kelak menjadi tokoh Angkatan 66. Melalui penjelasan ini, Rosihan hendak mengatakan bahwa intelektual telah bersekutu dengan massa.

Dari semua tulisan Rosihan, kita bisa menemukan hal yang berbeda pada poin tentang modernisasi ini. Kita menemukan Rosihan yang serius dan man in action. Ia bukan men of words, tapi telah menjadi the prophets yang menggerakkan massa untuk melawan penguasa. Di sini kita melihat sifat cadas seorang Rosihan. Gunung es itu memang ada, itulah Rosihan Anwar.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: