Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Melihat Wartawan Rosihan Anwar dari Bukunya

Oleh: Nasihin Masha, Penulis

Melihat Wartawan Rosihan Anwar dari Bukunya Kredit Foto: Antara/Fanny Octavianus/edit oleh tim WE

Buku pertama Rosihan berjudul Ke Barat dari Rumah (1952). Buku ini ditulis bersama Mochtar Lubis dan S Tasrif, dua wartawan legendaris Indonesia. Buku ini bercerita tentang perjalanannya ke negeri-negeri Barat. Setelah dari India, ia juga menulis buku India dari Dekat (1954)

Di awal Orde Baru, Rosihan sudah menulis tema modernisasi, sebuah tema yang menjadi inti Orde Baru. Modernisasi, pada masanya bukan sekadar istilah umum dan awam, tapi merupakan sebuah gerakan perubahan bagi negara-negara berkembang yang ingin menjadi negara maju. Modernisasi adalah sebuah 'paham' dalam ilmu sosial dan ilmu ekonomi tentang apa yang kemudian disebut sebagai "pembangunan".

Baca Juga: Memaknai Pendidikan dari Kisah Perempuan Tangguh Hutan Gunung Leuser

Orde Baru adalah sebuah rezim politik yang teknokratis dan pragmatis, sebagai lawan dari Orde Lama yang ideologis dan politis. Rosihan telah mencatat hal ini sejak dini sekali, pada 1965-1966 melalui buku yang berjudul Masalah-masalah Modernisasi. Rupanya hal ini tak lepas dari kiprahnya yang terlibat dengan kelompok diskusi sejumlah elite Jakarta saat itu. Di klub ini getol dibahas tentang modernisasi. Tentang kisah ini bisa dibaca pada bukunya Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia di jilid ke-3. Buku Sejarah Kecil ini ada empat jilid.

Rosihan adalah seorang wartawan yang menjadi pencatat sejarah yang baik, detail, deskriptif, serta anatomik. Buku-bukunya umumnya tentang hal ini. Mulai dari Musim Berganti, Sekilas Sejarah Indonesia 1925-1950, lalu Kisah-Kisah Jakarta Setelah Proklamasi, kemudian Kisah-Kisah Zaman Revolusi, Kenang-Kenangan Seorang Wartawan 1946-1949, dilanjutkan dengan Kisah-Kisah Jakarta Menjelang Clash ke-1, lalu Sebelum Prahara, Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965, kemudian Indonesia 1966-1983, berlanjut ke Perkisahan Nusa, Masa 1973-1986, kemudian ia menerbitkan tetralogi Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia (terbit 2004).

Ia juga menulis dua buku tentang Belanda, yang pertama Singa dan Banteng, Sejarah Hubungan Belanda-Indonesia 1945-1950 dan, yang kedua, Napak Tilas ke Belanda, 60 Tahun Perjalanan Wartawan KMB 1949. Atas jasanya ini, ia mendapat penghargaan sebagai anggota kehormatan Masyarakat Sejarawan Indonesia pada 2002. Promotornya adalah Azyumardi Azra. Dalam promosinya, Azra membedakan sejarawan ke dalam dua kelompok: akademis dan informal. Nah, karena disebut sebagai sejarawan informal, Rosihan menyebut dirinya sebagai sejarawan kaki lima, seperti sektor informal pedagang kaki lima.

Rosihan juga menulis biografi. Pertama biografi tentang dirinya. Ada tiga buku. Pertama, Menulis Dalam Air (terbit 1983). Kedua, Quartet, Pertemuan dengan Empat Sahabat (1999). Buku ini berkisah tentang persahabatannya dengan empat manusia: Tjan Tjoe Siem, Han Resink, Jack Abbott, dan Soedjatmoko. Ketiga, Belahan Jiwa, Memoar Kasih Sayang Percintaan Rosihan Anwar dan Zuraida Sanawi. Buku ini merupakan buku terakhir yang ia tulis, hingga maut menjemputnya, karena itu terbit hanya sebulan setelah kepergiannya.

Ia juga menulis biografi orang lain. Pertama, Kemal Idris, Bertarung dalam Revolusi. Di buku ini ia menjadi salah satu penulisnya. Kedua, Soebadio Sastrosatomo, Pengemban Misi Politik. Ketiga, Against the Currents, a Biography of Soedarpo Sastrosatomo. Keempat, In Memoriam, Mengenang yang Wafat. Buku keempat ini merupakan kumpulan tulisan.

Sebagai wartawan, Rosihan juga menulis tentang jurnalistik dan kewartawanan. Pertama, Ihwal Jusnalistik (1974). Kedua, Profil Wartawan Indonesia (1977). Ketiga, Bahasa Jurnalistik Indonesia & Komposisi (1979). Keempat, Wartawan & Kode Etik Jurnalistik.

Akhirnya, tak bisa dimungkiri bahwa Rosihan memiliki kedekatan tersendiri dengan Sjahrir, ketua umum PSI. Ia menerbitkan empat buku tentang Sjahrir. Pertama, Mengenang Sjahrir (1980). Di sini ia menjadi penyunting dari kumpulan tulisan para tokoh dan cendekiawan tentang Sjahrir. Kedua, Perdjalanan Terachir Pahlawan Nasional Sutan Sjahrir (1966). Ketiga, Sutan Sjahrir, Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan (True Democrat, Fighter for Humanity 1909-1966). Buku dwibahasa ini terbit pada 2010. Namun pada 2011, terbit lagi dengan versi Bahasa Indonesia saja. Tentu masih ada sejumlah buku lain karya Rosihan yang merupakan kumpulan tulisan dari tulisannya yang berserak di media massa. Ini tentu pekerjaan rumah sendiri, khususnya untuk menerbitkan artikel-artikelnya yang belum diterbitkan menjadi sebuah buku.

Masih ada sisi yang belum terungkap dari buku-buku tersebut, khususnya tentang Rosihan sebagai aktor film, aktor teater, dan juga sebagai juri film. Tepat sekali judul buku yang disunting wartawan senior Tribuana Said yang berjudul H Rosihan Anwar, Wartawan dengan Aneka Citra. Rosihan (Pedoman) adalah wartawan Angkatan 1945 yang belum banyak diperhatikan orang. Hal ini berbeda dengan BM Diah (Merdeka), Mochtar Lubis (Indonesia Raya), Adinegoro, bahkan Suardi Tasrif (Abadi). Mereka adalah bintang cemerlang wartawan Angkatan 1945. Nama Lubis, Adinegoro, dan Tasrif sudah diabadikan sebagai nama penghargaan jurnalistik. Dari lima nama itu, harus diakui nama Lubis yang paling banyak dibahas dan juga dibukukan.

Sudah saatnya kiprah Rosihan mulai diulas. Ini bukan soal penokohan atau pengkultusan, tapi untuk mengkaji bagaimana pemikirannya tentang masalah kebangsaan maupun tentang visi dan praktiknya di bidang jurnalistik. Yang terpenting, tentang bagaimana seorang wartawan dan sebuah media harus bersikap dan bertanggung jawab dalam aras jurnalisme–hal ini sesuatu yang makin langka di era oligarki dan era media milik para konglo. Pedoman, tentu saja Siasat, merupakan warna tersendiri dalam sejarah pers Indonesia. Hal itu layak diperbandingkan dengan Merdeka maupun Indonesia Raya. Harus diakui, Rosihan walau kritis dan kukuh, tapi tak semenggelegar Merdeka maupun Indonesia Raya, atau juga Harian Rakyat dan Abadi. Rosihan cenderung dingin, sedingin gunung es di samudera yang cenderung senyap namun ditakuti.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: