Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ekonom Nilai Sikap Pemerintah Tunjukkan Indonesia Sedang Hadapi Krisis Energi

Ekonom Nilai Sikap Pemerintah Tunjukkan Indonesia Sedang Hadapi Krisis Energi Kredit Foto: Reuters/Jorge Silva
Warta Ekonomi, Jakarta -

Beberapa kebijakan pemerintah dalam merespons apa yang terjadi di dunia dengan mulai menyadari kondisi bahwa subsidi energi akan jebol dan berencana mulai melakukan pembatasan atas pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite pada Agustus.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad menilai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam beberapa pekan terakhir merupakan sinyal adanya krisis energi.

"Pemerintah sudah mulai aware bahwa subsidi bisa saja jebol. Yang kedua ada upaya pembatasan untuk Pertalite sudah akan mulai diberlakukan pada Agustuss. Saya kira beberapa sinyal ini membuktikan bahwa kita menghadapi situasi krisis energi," ujar Tauhid dalam webinar, Kamis (28/7/2022).

Baca Juga: Dukung Transisi Energi, PLN Gandeng 14 Produsen Kendaraan Listrik dan Grab Indonesia

Tauhid menilai kondisi tersebut terjadi lantaran kebutuhan BBM terutama minyak mentah berada di kisaran 1,4 sampai 1,5 juta barel per hari, sedangkan produksi hanya sekitar 700 sampai 800 ribu barel per hari.

Menurutnya, meskipun sudah ada upaya mengatasi sumur tua dan investasi di sektor hulu, nampaknya tidak cukup begitu, dan situasinya saat ini tengah dihadapi persoalan geopolitik Rusia dan Ukraina yang akan menghambat pasokan terutama gas dan permintaan energi batu bara dan energi lain semakin meningkat.

"Meskipun kemarin ada kesepakatan Rusia-Ukraina untuk damai untuk pasokan pangan, tetapi pada saat ini juga pelabuhan di Ukraina dibom, jadi saya tidak yakin bahwa di laut hitam jalur pasokan pangan dan energi agak relatif aman," ujarnya.

Selain itu, Indonesia juga tengah dihadapkan pada situasi inflasi global yang mana ada transmisi ke dalam negeri, baik dari komoditas termasuk juga BBM. Ditambah lagi dengan kondisi Rupiah yang mengalami depresiasi nilai tukar hampir 5 persen.

"Jadi kalau kita impor lebih banyak terutama BBM karena nilai tukar kita melemah apalagi kemarin sempat tembus di atas 15 ribu, maka mau tidak mau kita akan membayar mahal harga BBM yang mana komponenya ICP yang pertama harganya sudah di atas US$100, yang kedua adalah nilai tukar (rupiah) di mana kita menghadapi depresiasi yang cukup mahal," ungkapnya.

Tauhid melanjutkan, berbicara mengenai krisis energi tidak terlepas dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pasalnya krisis juga bisa disebabkan oleh kebijakan yang kurang tepat. 

Ia mencontohkan, seperti yang terjadi di Srilanka dan negara lain ketika pasokan berkurang dan kebijakannya tidak tepat, justru membuat inflasi energi yang semakin tinggi.

"Saya kira kita sekarang dihadapkan pada situasi bagaimana memilih kebijakan yang tepat menghadapi krisis bukan hanya terkait supply, tapi bagaimana transisi harga bisa diterima di masyarakat termasuk policy subsidi karena diperkirakan subsidi bisa jebol dan yang kedua adalah beberapa skenario kenaikan subsidi sudah mulai diterapkan," tutupnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: