Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Waspada, Ancaman Stagflasi Kian Nyata

Waspada, Ancaman Stagflasi Kian Nyata Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Anggota Komisi XI DPR Andreas Eddy Susetyo mengatakan, ancaman terjadinya stagflasi semakin nyata bakal menghantam perekonomian nasional. Situasi tersebut dapat dilihat antara lain dari rilis IMF dalam World Economic Outlook (WEO) edisi Juli 2022 memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global untuk 2022 sebesar 0,4 ppt menjadi 3,2%. 

"Beberapa faktor pendorong pemangkasan tersebut adalah, pertama adanya perlambatan ekonomi yang lebih tajam di Tiongkok akibat perpanjangan lockdowns, sehingga memperburuk gangguan rantai pasokan global," kata Andreas kepada wartawan, Selasa (2/8/2022).

Faktor kedua, kata Andreas, pengetatan likuiditas global terkait dengan kenaikan suku bunga acuan yang lebih agresif oleh Bank Sentral negara maju (the Fed, ECB, dan Bank of England), dan ketiga adalah dampak dari perang Rusia-Ukraina yang berkepanjangan.

Selain itu Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, kembali menaikkan Fed Funds Rate (FFR) sebesar 75 bps dari 1,50 – 1,75% menjadi 2,25 – 2,50% pada FOMC Juli 2022. The Fed menegaskan kembali bahwa kenaikan FFR lanjutan masih diperlukan, dan akan tetap melanjutkan proses pengurangan balance sheetnya secara signifikan. 

"Target suku bunga The Fed akan berada pada 3,5% di 2022 ini dan kemungkinan mencapai peak nya di semester I tahun 2023 sebelum kembali turun di semester II," ucapnya.

Sementara, kata Andreas, Ekonomi Tiongkok juga hanya tumbuh 0,4% yoy di 2Q22, melambat tajam dari pertumbuhan 4,8% di 1Q22. Pertumbuhan tersebut adalah laju ekspansi paling rendah sejak kontraksi pada 1Q20 ketika awal pandemi COVID-19 terjadi. 

"Tantangan perlambatan ekonomi AS dan Tiongkok akan berdampak kepada kinerja ekspor di semester II ini dan tahun 2023, terutama dikaitkan dengan kinerja ekspor industri manufaktur," katanya.

Selain itu, kata ia, perang Rusia-Ukraina yang tak kunjung berakhir, dan kebijakan proteksi yang dilakukan berbagai negara dalam rangka melindungi kepentingan dalam negerinya sehingga rantai pasokan global terganggu. 

Stagflasi merupakan kondisi dimana pertumbuhan yang stagnan cenderung lemah sementara di sisi lain inflasi meroket. Stagflasi terakhir kali terjadi pada 1970-an. Antara 1973 dan 1981, inflasi AS selalu di atas 6 persen dengan pengecualian pada 1976 (4,86 persen). Sementara inflasi di AS di bulan Juni 2022 ini meroket hingga 9,1 persen. 

"Dampak yang akan terjadi di Indonesia yang jelas adalah akan terjadi pelambatan pemulihan ekonomi nasional karena arus investasi diperkirakan akan kembali ke pasar AS dan nilai tukar rupiah akan tertekan," kata ia.

"Kita berharap Indonesia tidak mengalami dampak parah dari stagflasi global ataupun mengalami stagflasi," tambahnya.

Namun, kata Andreas, jika stagflasi global benar-benar terjadi dan berkepanjangan, maka dampaknya akan sulit dihindari. Dengan demikian ancaman melonjaknya pengangguran, merosotnya daya beli masyarakat serta kenaikan harga akan sulit dihindari. Situasi ini akan diperburuk dengan munculnya berbagai problem sosial seperti meningkatnya kejahatan.

Bagi Indonesia, sampai saat ini inflasi masih terkendali karena keberhasilan dalam menjaga lonjakan harga kebutuhan pangan. Dengan demikian dampak stagflasi global diperkirakan tidak akan dirasakan dalam jangka pendek. 

Kendati demikian harus ekstra waspada karena faktor eksternal (global) yang tidak menentu. Namun paling tidak potret positif dalam negeri bisa dilihat dari Bank Indonesia yang mempertahankan BI-7DRRR pada level 3,50% di bulan Juli, sejalan dengan prakiraan inflasi inti yang masih terkendali di tengah risiko dampak perlambatan ekonomi global terhadap pertumbuhan ekonomi domestik. 

Selain itu inflasi inti masih relatif rendah sebesar 2,63% yoy. Neraca perdagangan pada Juni 2022 juga kembali meningkat menjadi USD5,09 miliar dikarena kinerja ekspor yang kembali menguat menyusul pembukaan kembali ekspor CPO. 

Sepanjang semester I tahun ini, surplus neraca perdagangan mencapai USD 24.88 miliar atau lebih dari dua kali lipat dibanding surplus tahun 2021 Tidak ketinggalan, kinerja Perbankan membaik seiring dengan akselerasi pertumbuhan kredit di tengah membaiknya tingkat mobilitas dan permintaan publik. 

Pertumbuhan kredit terus meningkat menjadi 10,3% yoy pada Juni 2022. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan kredit akan berada di kisaran 9 -11% di 2022 sementara kualitas aset seperti yang terlihat pada Loan at Risk (LaR) turun ke 18,2% per Maret 2022 atau turun drastis dibandingkan posisi Desember 2021 yang mencapai 25,1%.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: