Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Cara CEO Xurya Ambil Peluang Potensi Tenaga Surya Indonesia

Cara CEO Xurya Ambil Peluang Potensi Tenaga Surya Indonesia CEO dan Founder Xurya Daya Indonesia Eka Himawan | Kredit Foto: Xurya Daya Indonesia
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sebagai negara yang dilintasi oleh garis khatulistiwa tak ayal Indonesia memiliki berkah luar biasa akan potensi energi dari paparan cahaya matahari dengan paparan sepanjang tahun. 

Besarnya potensi dari energi surya atau panas matahari yang besar tersebut dilihat sebagai peluang menjanjikan untuk menuju transisi energi atau untuk mencapai Net Zero Emmition (NZE) 2060.

Kondisi tersebut rasanya dijadikan kesempatan yang bagus oleh beberapa perusahaan, salah satunya adalah startup yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap yaitu PT Xurya Daya Indonesia.

Baca Juga: Xurya Klaim Alami Peningkatan Kapasitas Tiga Kali Lipat Sejak 2018

Guna mengetahui potensi dan hambatan yang dirasakan oleh perusahaan tersebut, Warta Ekonomi berkesempatan mewawancarai CEO dan Founder Xurya Daya Indonesia Eka Himawan secara langsung. Berikut hasil wawancara yang dilakukan beberapa hari lalu.

Alasan Anda membentuk Xurya pada 2018?

Kebetulan memang track record saya sebelumnya, karena memang lulusan saya engineering sebetulnya naturally sudah ada ketertarikan kepada kelistrikan dan kebetulan ketika awal kerja saya pernah bekerja di reksadana untuk yang lebih agresif setahunya.

Ketika itu saya sempat investasi di solar energi di tahun 2007 dan sudah cukup lama dan sudah cukup mengertilah tentang solar. Di saat itu sebenernya saya sudah sangat suka dengan sektor ini, tapi dulu solar panel itu mahal jadi kalau misalnya enggak ada subsidi enggak make sense-lah.

Kenapa tidak ambil kesempatan pada 2007 tersebut?

Saya tertarik tapi kalau dihitung-hitung ini tidak akan masuk di Indonesia, tapi anyway long story short sempat kerja lagi di Indonesia Exim Bank, saya juga sempat buka startup kala itu, e-commerce di tahun 2012, posisinya 2012 kan e-commerce masih sedikit. 

Basic kami juga ada di sana dan ketika 2018 saya hitung-hitung lagi ternyata sudah masuk dan dengan pengamalan saya membuat startup e-commerce, saya memberanikan diri untuk nyemplung ke sini (Xurya).

Berdasarkan data yang ada di tahun 2010 panel surya masih mahal, lalu bagaimana bisa menentukan 2018 sudah bisa diterapkan di Indonesia?

Saya setiap tahun hitung-hitung sendiri kira-kira harga kelistrikan solar panel ini sendiri, jadi harga investasinya dibandingkan dengan harga rate down ROE dari investasi itu kan sebenarnya lawannya harga listrik di sini, atau istilahnya rate down yang kita dapat sebanding atau tidak dengan investasinya.

Keyakinan ini bisnis menguntungkan?

Ujung-ujungnya sampai 2018 kalau dihitung-hitung si selalu rugi. Di mana 2018 pertama kali terjadi yaitu actually kalau kami investasi pas baru balik modal tapi saya rasa kalau timing ini terjadi enggak lama lagi akan untung, tinggal kita pikirkan bagaimana cara bisnis modalnya, jadi ujung-ujungnya biarpun pas balik modal, balik modalnya ujung-ujungnya cukup panjang.

Karena untuk barang seperti ini kita bicara balik modalnya mungkin tujuh sampai delapan tahun, dan barang bisa bertahan hingga 25 tahun, jadi kalau dibilang untung ya pasti untung tapi tujuh tahun itu kan banyak yang pikir panjang banget balik modalnya, jadi mereka banyak yang enggak mau investasi, jadi akhirnya kami buat produk seperti Xurya di mana mereka tidak perlu keluar biaya di depan dan membuat kontrak dengan kami, mereka dapat harga yang lebih murah dan mereka lebih saving di awal.

Bagaimana cara Xurya menarik masyarakat?

Kebetulan, jujurnya di awal-awal berat untuk memberikan kepercayaan mereka, dan waktu kami bilang masyarakat sebenarnya ada tiga pihak di mana ada pemerintah, ada perusahaan swasta dan BUMN, dan ada juga masyarakat luas, menurut saya tiga sektor ini agak beda cara confience mereka, dan setelah kami telusuri yang gampang menurut saya, kami mulai dengan perusahaan dulu.

Karena perusahaan insentifnya lebih jalan untuk mereka go renewable karena di luar itu sudah banyak gerakan-gerakan. Kalau dilihat juga banyak perusahaan luar negeri atau perusahaan yang menjalin kerjanya dengan luar negeri dan ada juga perusahaan nasional, kalau dilihat perusahaan yang di-link dengan luar negeri itu sangat suka sebenarnya. 

Dari sisi risiko, investasi lebih kecil, ketimbang ketika investasi ke residensial. Enggak semua klien kami fokus ke penghematan saja, tapi ada yang berpikir enggak hemat tapi bertanggung jawab terhadap lingkungan.

Saya rasa targetnya di sana dulu dengan kami bisa mendompleng nama-nama mereka, semoga kami bisa influence di dua sektor itu dulu dan kenapa kami mulai di perusahaan dulu karena mereka dari segi risk reward-nya paling jelas dan mungkin sebagai contoh satu costumer pertama kami kan Plaza Indonesia dan itu Grand Hyat yang merupakan brand luar negeri.

Kenapa mereka melakukan itu, kalau dari segi uang mereka enggak keluar biaya dan saving-nya enggak berasa, kenapa mereka melakukan itu karena mereka ingin ada suatu angle yang mereka bisa bilang CSR-nya, mereka pakai itu, biasanya kan CSR perlu keluar uang dan ini bisa lebih kecil. 

Mungkin itu salah satunya dan sudah banyak juga perusahaan yang menggunakan, kami kemarin juga diinfo Unicharm dan juga ada Pen Brothers di mana mereka salah satu perusahaan lokal yang sering ekspor keluar negeri di mana mereka ekspor ke Adidas, di mana Adidas adalah requier mereka untuk paka renewable energy agar mereka bisa continue dan masih bisa diprioritaskan sebagai vendor.

Apa target perusahaan?

Sampai sekarang masih di perusahaan-perusahaan, tapi kami memang tidak menutup kemungkinan, di mana akhir dari perusahaan ini kenapa kami ingin mendapatkan mereka karena ingin mendapatkan round-nya dan ini kami pasti akan melebar ke sektor pemerintahan dan masyarakat.

Kapan akan ekspansi ke dua lini bisnis tersebut?

Itu juga sesuatu yang setiap hari kami pikirkan, kalau ditanya inginnya kapan ya secepatnya, tapi kami juga harus melihat-lihat perkembangan regulasi dan perkembanngan bisnis kami sendiri.

Regulasi di Indonesia bagaimana?

Jujur kata untuk regulasi itu, kali ini posisinya dipersulit (kebijakan PLN). Kenyataanya memang begitu dan itu benar-benar terjadi malah menurut saya, kalau saya lihat untuk perumahan saya kira itu lebih penting untuk mengikuti regulasi karena dia sama sekali tidak ada negoshifting replace terhadap pemerintah.

Di mana ketika PLN bilang kamu mati ya kamu mati, dan itu pasti terima saja dan kalau sama perusahaan agak beda, di mana ketika PLN suruh matikan, dia bisa negosiasi dengan PLN di mana dia bisa ajak PLN bicara, kalau misalnya perumahaan ya siapa kamu.

Alasan mengambil perusahaan awalnya karena ada bargaining power-nya juga?

Iya masih ada bargaining power-nya juga dan itulah karena jujur saja benar-benar menghambat. Jadi kasihan juga, kalau dilihat perumahan kan lebih butuh ini (PLTS) kalau misal ada rate of return, kita pakai listrik di rumah kan lebih sedikit dan lebih banyak malam, jadi otomatis di rumah akan banyak export-nya jadi tidak ada rate of return habislah kami, enggak akan ada return-nya, dan kenyataanya begitu.

Selain regulasi ada hal lain yang menghambat?

Menurut saya, regulasi is the fewer numbering one, tapi mungkin kalau misalnya masyarakat lebih suportif dan memang saya mengerti itu adalah yang menakutkan kadang-kadang. Terkadang kalau misalnya pemerintah menakut-nakuti masyarakat akhirnya masyarakat akan takut juga.

Namun, kalau mungkin yang saya bisa katakan ke masyarakat luas sebenarnya ada keuntunganya, kita adalah negara demokrasi di mana demokrasi itu kan sudah pasti mereka butuh vote dari masyarakat.  

Asalkan masyarakat bisa bilang ke pemerintah bahwa mereka tahu renewable energy dan mereka mau pakai energi yang lebih bersih, biarpun apa kata regulasi, menurut saya, akan sailor of things, jadi mungkin ada sedikit kedua-duanya juga, jadi kemauanya masyarakat luas belum sebegitu kuatnya sampai pemerintah merasa tergerak untuk melakukan sesuatu.

Tapi memang at the same time, kalau misalnya pemerintah enggak mau itu, ya masyarakatnya juga takut.

Cara dari Xurya untuk menjawab tantangan tersebut?

Kalau dari kami sekarang ini, secara berkelanjutan berdialog dengan stakeholder, di mana pemerintahan kan cukup luas dengan banyak stakeholder, setiap stakeholder kami ajak berbicara dan kami coba memahamkan mereka punya kebijakan seperti apa, PLN sebenarnya support, ESDM support, tapi kenapa PLN seakan-akan mereka kalah dengan ESDM dan poin-poin itu kami berdialog dan mengerti poin mereka seperti apa.

Namun, menurut saya, ya lebih banyak masyarakat yang bisa kami konfirmasi untuk pasang, i think the more actually the more world participate, kalau misalnya oleh karena ini malah makin sedikit yang pasang, menurut saya agak susah juga kalau kami berbicara dengan pemerintah.

Cukup banyak costumer kami yang mau terus maju karena bagi mereka, energi baru dan terbarukan itu bersih dan lebih baik untuk dunia, dan mereka tetap masih mau bergerak, dan kami bersyukur dengan adanya costumer kami yang masih suportif.

Dari 2018 sampai sekarang sudah berapa panel yang telah terpasang?

Kami enggak dispose jumlah KWP-nya tapi kami ekspos jumlah, jadi kemarin 50 plus karena ada yang sedang proses konstrusi. Ada beberapa perusahaan besar, ada Unicharm, distributornya IKEA, jadi beberapa brand, Softex yang kami sudah disclose, 50 plus dari berbagai macam jenis industri.

Lokasi terbesar?

Di Jawa Timur di platimum pabrik keramik lebih dari 5 mega, dan itu untuk golongan PLTS atap harusnya terbesar lebih dari 5 hektare.

Sebaran lokasi?

Kalau ke Timur kami baru di daerah Makasar dan lagi progres di Bali.

Ada Target rencana di Kalimantan?

Selalu ada rencana untuk ke sana juga, tapi kami engga terlalu melihat banyak pergerakan yang signifikan.

Kan mayoritas ada di Jawa Barat dan Jawa Timur, ke depan selain wilayah tersebut ada lagi tidak wilayah lain?

Kalau dari segi geografis, lumayan merata dari segi operasional kami karena sebenarnya bukan geografinya yang kami kejar, tapi lebih ke kawasan-kawasan, yang kami kejar kawasan pabrik dan komersial seperti mal, jadi mungkin lebih ke urban area.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: