"Harga yang Rp14.070 ini kita kurangi dengan harga tender Rp10.400. Hasilnya Rp3.670. Apakah ini langsung menjadi untung? Enggak. Sebab musti dikurangi lagi dengan biaya Rp500 tadi. Ini berarti menjadi Rp3.670-Rp500= Rp3.170. Apakah ini sudah jadi untung? Belum! Masih harus membayar Bea Keluar (BK) USD288 per ton CPO. Kalau ini dirupiahkan menjadi Rp4.176.000 atau Rp4.176 perkilogram CPO. Itu kalau pakai kurs Rp14.500. Sekarang saja kurs rupiah sudah di angka Rp14.946," Tolen merinci.
Kalau Rp3.170 tadi dikurangi Rp4.176, eksportir tekor Rp1.006. "Pertanyaan yang kemudian muncul, siapa yang mau mengekspor CPO jika kondisinya kayak begini? Jawabannya, kalaupun ada yang mau ekspor, paling perusahaan yang CPO-nya berasal dari kebun sendiri. Kalau dari kebun sendiri masih untunglah," ujarnya.
Baca Juga: Tutup Pekan I Agustus 2022, Harga CPO di KPBN Tercatat Naik
Lantas, kenapa PKS susah mengikuti harga tender? "Begini, tadi saya sudah bilang bahwa PKS yang tak punya kontrak langsung dengan pembeli dari luar, cuma kebagian harga Rp500 di bawah harga tender. Itupun dengan catatan, rendemen CPO-nya musti 20%. Nah, kalau harga tender tadi Rp10.400, PKS hanya kebagian Rp9.900. Kalau CPO-nya punya rendemen 20%, harga TBS yang bisa dibeli hanya Rp1.980," Tolen menghitung.
Pertanyaan yang kemudian muncul lagi kata Tolen, apakah rendemen kelapa sawit petani 20%? "Dalam kondisi normal saja petani sulit dapat rendemen 20%. Apalagi dalam kondisi tiga bulan terakhir. Sudahlah tak dapat rendemen 20%, TBS masyarakat pun sering antre. Ingat, antre satu malam saja TBS itu, Free Fatty Acid (FFA) atau Asam Lemak Bebas (ALB) TBS-nya sudah naik dari 3% menjadi 5%. Sementara yang dapat harga tender itu hanya FFA 3," ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum