Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mantan Wakil Presiden Codex: Regulasi Keamanan Pangan Diskriminatif, Bukan Prinsip Regulatory Baik

Mantan Wakil Presiden Codex: Regulasi Keamanan Pangan Diskriminatif, Bukan Prinsip Regulatory Baik Kredit Foto: IPB

Sebelumnya, Pakar Teknologi Produk Polimer/Plastik yang juga Kepala Laboratorium Green Polymer Technology  Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI), Assoc. Prof. Dr. Mochamad Chalid, S.Si., M.Sc. Eng., menegaskan kemasan galon guna ulang secara disain material bahan bakunya relatif aman untuk air minum dengan kemasan yang digunakan berulang kali.  Karenanya, lanjut Chalid, untuk mengatakan bahwa galon ini mengkhawatirkan pun harus jelas disclaimer-nya seperti apa. “Jangan kalimat itu kemudian digeneralisir. Harus ada rinciannya, nggak bisa sembarangan. Nah, statement yang seperti itu enggak bisa digunakan untuk publik, kecuali kalau sudah ada data yang jelas,” ucapnya.
 
Dosen Biokimia dari Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor (IPB), Syaefudin, PhD, mengungkapkan bahwa BPA yang tidak sengaja dikonsumsi para konsumen dari kemasan pangan akan dikeluarkan lagi dari dalam tubuh. Karena, menurutnya, BPA itu akan diubah di dalam hati menjadi senyawa lain sehingga dapat lebih mudah dikeluarkan lewat urin.

Baca Juga: Ketahanan Pangan Nasional Jangan Kesampingkan Kesejahteraan Petani
 
“Jadi sebenarnya, kalau BPA itu tidak sengaja dikonsumsi oleh kita tubuh kita. Misalkan dari air minum dalam kemasan yang mengandung BPA. Tapi, ketika dikonsumsi, yang paling berperan itu adalah hati. Ada proses glukorodinase di hati, di mana ada enzim yang mengubah BPA itu menjadi senyawa lain yang mudah dikeluarkan tubuh lewat urin,” katanya.
 
Selain itu, kata Syaefudin, sebenarnya BPA ini memiliki biological half life atau waktu paruh biologisnya. Artinya, ketika BPA itu misalnya satuannya 10, masuk dalam tubuh, dia selama 5-6 jam akan cuma tersisa 5. “Nah, yang setengahnya lagi itu dikeluarkan dari tubuh. Artinya, yang berpotensi untuk menjadi toksik dalam tubuh itu sebenarnya sudah berkurang,” tuturnya.
 
Dia juga mempersoalkan hasil penelitian BPOM terkait BPA dalam air minum dalam kemasan (AMDK).  Dia mengatakan data dari BPOM itu adalah konsentrasi dari uji yang di luar tubuh. “Nah, kita butuh data sebenarnya yang masuk ke dalam tubuh. Kalau misalnya katanya kadar BPA itu sudah berada di atas 0,6 bpj yang masuk ke dalam air minum, itu kalau dikonsumsi itu sisanya berapa di dalam tubuh, itu yang jadi penting. Jangan-jangan sebenarnya enggak masalah, karena pas masuk langsung keluar lagi,” ucapnya.  

Baca Juga: Moeldoko Minta Percepatan Ekosistem Sorgum Demi Stabilitas Pangan Nasional
 
Kalau sebenarnya konsentrasi BPA sebesar temuan BPOM itu tidak bermasalah di dalam tubuh, menurutnya, BPOM tidak perlu membuat regulasi baru terkait pelabelan BPA “berpotensi mengandung BPA” dalam kemasan galon berbahan Polikarbonat itu. “Kalau nggak masalah di dalam tubuh kenapa diregulasi. Yang jadi masalah itu kan ketika masuk di dalam tubuh, dan bukan yang ada di dalam airnya,” tukasnya.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Aldi Ginastiar

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: