Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Berpotensi Hasilkan Rp8.475 triliun, Pengembangan Pasar Karbon Harus Dipercepat

Berpotensi Hasilkan Rp8.475 triliun, Pengembangan Pasar Karbon Harus Dipercepat Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Indonesia tengah melakukan inisiasi pembentukan pasar karbon dalam RUU PPSK (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan) yang sejalan dengan upaya mencapai target pembangunan ekonomi berkelanjutan. Potensi pasar karbon di Indonesia pun terbilang cukup besar, dengan adanya pasar karbon dan perdagangan karbon di Indonesia, OJK meramal potensi USD 565 miliar atau Rp8.475 triliun kontribusi ke pendapatan negara. 

Potensi ini didukung oleh posisi Indonesia berada di peringkat ke 3 dunia dengan luasan hutan tropis sebesar 125 juta hektar atau sekitar 65% dari luas daratan yang ada dan diperkirakan dapat menyerap karbon sebesar 25 miliar ton karbon.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengatakan, selain potensi pasar karbon yang cukup besar secara ekonomi, Indonesia juga memiliki target pengurangan emisi karbon. Oleh karena itu, sebaiknya dalam RUU PPSK perlu segera mengatur secara spesifik aturan main dalam pasar karbon. Baca Juga: Bos PLN Ungkap Alasan Besar Dibalik Upaya Penurunan Emisi Karbon

"Beberapa aturan yang perlu di atur adalah mekanisme pasar karbon sebagai komoditas atau bauran komoditas dengan efek. Apabila OJK ingin mengatur pasar karbon, bentuknya adalah bauran pasar komoditas dengan efek dalam rangka mempermudah perusahaan mencari pembiayaan ketika memiliki sertifikat karbon," ujarnya di Jakarta, Rabu (19/10/2022).

Dalam beberapa kasus di negara lain memang pasar karbon lebih diatur sebagai komoditas ketimbang efek. Sebagai contoh European Union Emissions Trading System (EU ETS) merupakan pasar karbon pertama dan terbesar dunia yang telah menerapkan cap-and-trade system dengan basis pasar komoditas sejak tahun 2005. 

Namun, selain menempatkan kredit karbon sebagai komoditas, beberapa studi turut mempertimbangkan penggunaan kredit karbon sebagai efek atau sekuritas. Seperti banyak jenis aset, pemilik kredit karbon dapat menggunakan kredit karbon sebagai jaminan untuk mendapatkan pembiayaan.

Dalam Pasal 24 RUU PPSK disebutkan bahwa perdagangan karbon harus dilakukan dengan mekanisme pasar karbon melalui bursa karbon dan/atau dengan perdagangan langsung. Adapun bursa karbon dimaksud merupakan sistem yang mengatur mengenai pencatatan cadangan karbon, perdagangan karbon, dan status kepemilikan unit karbon. Kemudian dalam Pasal 26 dipertegas pengaturan akan berada dibawah OJK.

Bhima yang juga Ekonom menambahkan, jika kredit karbon akan ditempatkan sebagai komoditas, mengikuti benchmark negara-negara lain, maka pemerintah dapat segera melaksanakan perdagangan karbon melalui ekosistem perdagangan komoditas (bursa, kliring, dan kustodian) yang sudah tersedia di bawah pengawasan Bappebti.

"Tapi tetap terbuka peluang koordinasi antara Bappebti dan OJK dalam mengkombinasikan alternatif pasar karbon sebagai komoditas dan efek. Sistem campuran yang inovatif sebenarnya sah-sah saja asalkan pembagian tugasnya cukup jelas," ungkapnya.

Besarnya potensi pasar karbon membutuhkan berbagai infrastruktur penunjang termasuk keandalan sistem, pengawasan, hingga pengaduan sehingga pasar karbon dapat meningkatkan peran serta dari seluruh pelaku yang ingin terlibat dalam mendorong percepatan penurunan emisi karbon. Baca Juga: BEI Berpotensi Ditunjuk Jadi Penyelenggara Bursa Karbon oleh Pertamina

“Selain itu dalam rangka mewujudkan infrastruktur pasar karbon yang ideal, disarankan kepada Pemerintah untuk memprioritaskan bursa komoditi yang sudah ada dengan berbagai alasan termasuk kapabilitas infrastruktur, serta level pengawasan yang memadai dibandingkan membuka peluang terhadap kemunculan SRO (Self-Regulatory Organizations) baru yang belum teruji efektivitas sistem nya. Peningkatan volume perdagangan pasar karbon pada bursa komoditi yang telah ada dapat membantu dampak positif yang lebih besar terhadap seluruh ekosistem perekonomian nasional.” Imbuh Bhima.

Potensi pasar karbon yang cukup besar, namun belum tersedianya infrastruktur pasar karbon di dalam negeri, menimbulkan risiko perebutan pasar karbon di negara lainnya. “Selama ini faktanya beberapa perusahaan di Indonesia sudah melakukan perdagangan karbon di bursa luar negeri. Sangat disayangkan, kalau potensi pasar karbon akhirnya lari keluar,” tutup Bhima.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman

Bagikan Artikel: