Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Apdamindo Tegaskan Bisnis Depot Air Minum tidak Kena Regulasi BPOM

Apdamindo Tegaskan Bisnis Depot Air Minum tidak Kena Regulasi BPOM Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ketua Umum Asosiasi Pemasok dan Distributor Depot Air Minum Indonesia (Apdamindo) Budi Darmawan, menyatakan bahwa usaha depot air minum dikecualikan dari aturan pelabelan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

"Karena jenis usaha kami jelas sangat berbeda dari bisnis air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang,” kata Budi Darmawan. 

"Regulasi pelabelan air minum dalam kemasan (AMDK) galon kan pada kemasannya, sedangkan fokus bisnis depot air minum pada airnya saja, jadi apa hubungannya?” kata Budi Darmawan, di Jakarta (7/11).

Faktor pembeda lainnya adalah, AMDK galon bekas pakai yang mengandung senyawa berbahaya Bisphenol A (BPA) diproduksi oleh industri skala besar. Sebaliknya, bisnis depot air minum isi ulang adalah bisnis yang masuk kagetori usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang dioperasikan oleh masyarakat. 

Menurutnya, bisnis depot air minum adalah  menyediakan air minum praktis, untuk masyarakat yang datang ke depot-depot dengan  membawa wadah milik mereka sendiri

“Bahkan di beberapa tempat di Indonesia, masyarakat datang dengan membawa jerigen dan wadah jenis lainnya ke depot-depot air minum, jadi bukan cuma bawa galon,” katanya.

“Dengan demikian, regulasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk pelabelan galon guna ulang dari bahan plastik keras polikarbonat yang bercampur BPA, tidak akan berpengaruh negatif pada bisnis depot air minum milik masyarakat,” kata Budi.

Apdamindo sebagai induk organisasi dengan anggota hampir 90.000 depot air minum UMKM di Indonesia menyatakan sejalan dengan langkah BPOM RI, untuk melabeli galon bekas pakai yang mengandung BPA dengan label “Berpotensi Mengandung BPA”.

Dukungan ini juga untuk mempertegas perbedaan bisnis AMDK dan depot air minum, karena BPOM secara tegas mengecualikan usaha depot air minum  dari regulasi pelabelan.

“Kalaupun nanti ada perubahan kebijakan, misalnya BPOM terpaksa diminta untuk turun memeriksa depot-depot air minum, itu jelas bukan pekerjaan mudah, karena jumlah pelaku usaha ini yang sangat besar dan tersebar di seluruh Indonesia,” katanya. 

Sejauh ini, pihak yang paling lantang menolak regulasi BPOM untuk pelabelan galon bekas pakai adalah Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan (Aspadin), dan didukung pula oleh Asosiasi Bidang Pengawasan dan Perlindungan terhadap Para Pengusaha Depot Air Minum (Asdamindo). 

Agak aneh sebetulnya, karena kedua asosiasi ini sebenarnya menaungi usaha yang tidak saling terkait dan berada di bawah pengawasan kementerian atau lembaga yang berbeda pula.

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin) Rachmat Hidayat mengklaim, revisi aturan BPOM akan membuat industri AMDK, terutama galon bekas pakai merugi sampai triliunan rupiah per tahun. “Mungkin industri ini sebagian besar akan tutup,” katanya.  

Klaim tersebut agaknya terlalu bombastis, karena ternyata tak terbukti pada industri rokok. Berkaca dari industri rokok, label peringatan dan foto penderita kanker yang tertera di bungkus rokok, ternyata hingga saat ini tak  mematikan bisnis dan industri rokok. Tetapi, dengan label peringatan itu, setidaknya konsumen sudah tahu risiko kesehatannya apabila tetap membeli dan mengisap rokok. 

Senada dengan Aspadin, Asosiasi Depot Air Minum Isi Ulang Indonesia (Asdamindo) juga menyatakan tegas menolak wacana BPOM yang akan memberikan label “Berpotensi Mengandung BPA” pada kemasan  galon bekas pakai.

Erik Garnadi, Ketua Asdamindo sekaligus Pimpinan LSM Garda Pemuda Siliwangi, sebelumnya mengklaim, pelabelan pada kemasan galon bekas pakai juga akan merugikan para pengusaha depot air minum. Para pengusaha depot air minum akan banyak yang tutup usahanya, katanya mengamini klaim ketua Aspadin untuk industri AMDK. 

Asdamindo juga protes kepada BPOM, karena menyatakan keamanan air minum yang ada di depot air minum isi ulang bukanlah tanggung jawab lembaga tersebut. Pada kenyataannya, pengawasan depot air minum memang berada di bawah kewenangan Kementerian Kesehatan, dan bukan pada BPOM.

Sebelumnya, Deputi Bidang Pengawasan Pangan BPOM Rita Endang menyatakan rancangan regulasi pelabelan BPA terbatas hanya ditujukan untuk produk galon bekas pakai berbahan polikarbonat, jenis plastik keras yang pembuatannya menggunakan bahan campuran BPA. Jenis plastik ini banyak ditemukan dalam wadah makanan, botol minum atau botol susu bayi, lensa kacamata, DVD, hingga bahan bangunan semisal atap garasi.

Menurut Rita, sekitar 50 juta lebih warga Indonesia sehari-hari mengkonsumsi air kemasan bermerek. Dari total, 21 miliar liter produksi industri air kemasan per tahunnya, 22 persen di antaranya beredar dalam bentuk galon bekas pakai. Dari yang terakhir, 96,4 persen berupa galon berbahan plastik polikarbonat.

“Artinya 96,4 persen itu mengandung BPA. Hanya 3,6 persern yang PET (kemasan Polyethylene Terephthalate yang bebas BPA),” kata Rita. “Inilah alasan kenapa BPOM memprioritaskan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang.”

Kepala BPOM Penny K. Lukito menyebut pelabelan kemasan galon yang mengandung BPA sangat diperlukan, agar publik mendapatkan hak mereka untuk mengetahui informasi produk yang mereka konsumsi.

"Pelabelan juga untuk mengantisipasi munculnya gugatan hukum terkait keamanan produk air kemasan yang tertuju pada pemerintah dan kalangan produsen di masa datang," kata Penny dalam sebuah sarasehan belum lama ini.

Menurut BPOM, sejumlah penelitian dan riset mutakhir yang dilakukan di berbagai negara, termasuk Indonesia, mengindikasikan BPA bisa memicu perubahan sistem hormon tubuh dan memunculkan gangguan kesehatan termasuk kemandulan, penurunan jumlah dan kualitas sperma, feminisasi pada janin laki-laki, gangguan libido dan sulit ejakulasi.

Paparan BPA dalam jangka waktu lama juga disebutkan bisa memicu gangguan penyakit tidak menular semisal diabetes dan obesitas, gangguan sistem kardiovaskular, gangguan ginjal kronis, kanker prostat dan kanker payudara. Sementara pada anak-anak, paparan BPA dapat memunculkan gangguan perkembangan kesehatan mental dan autisme.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: