Selain itu, mengacu pada pengalaman implementasi RUPTL, sangat sulit untuk mencapai sukses rasio yang tinggi, sehingga power wheeling dapat menjadi akselerator penerapan EBT. Lalu sebagai back-up plan apabila PLN tidak dapat menyediakan listrik hijau.
"Kemudian sebagai antisipasi perkembangan perdagangan listrik hijau lintas kawasan ASEAN (connectivity), Indonesia sangat berpotensi menjadi eksportir listrik EBT di kawasan ASEAN, sehingga perlu kesiapan infrastruktur pendukung dan mekanisme yang fleksibel. Potensi power wheeling ini diminati oleh banyak perusahan termasuk yang concern dengan green energy," ujar Iswahyudi.
Di sisi lain, ekonom senior Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Faisal Basri mengatakan bahwa skema power wheeling memang bentuk privatisasi dan liberalisasi terselubung.
Menurutnya, Indonesia harus belajar dari pengalaman negara-negara yang dalam melakukan privatisasi di sektor ketenagalistrikan, di mana pernah terjadi blackout di California akibat kebangkrutan pembangkit listrik swasta.
"Selain itu, skema power wheeling juga justru bisa memperkuat dominasi oligarki yang berganti kulit karena di dalam RUU EBT masih diakomodasi gasifikasi batu bara. Jadi seharusnya energi baru dihilangkan saja dan di dalam RUU cukup dengan energi terbarukan," ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: