Rencana pemerintah bersama dengan DPR RI untuk mendorong transiai energi bersih demi mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060, salah satunya dilakukan dengan menyusun draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
Meski begitu, sejak disampaikan draf tersebut pada 29 Juni 2022 oleh DPR ke pemerintah, sampai dengan saat ini Pemerintah belum juga menyampaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) atas RUU inisiatif DPR tersebut meskipun telah melewati tenggat waktu pada 27 Agustus 2022.
Di satu sisi, kehadiran UU EBT nantinya diharapkan akan menjadi kebijakan pamungkas yang dapat mengakselerasi peningkatan bauran energi bersih. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran adanya upaya membuka lebar ruang liberalisasi sektor ketenagalistrikan melalui skema power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik baik infrastruktur transmisi maupun distribusi.
Baca Juga: Menuju NZE, Beginilah Arah Kebijakan Transisi Energi
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mempertanyakan munculnya klausa skema power wheeling dari Pemerintah di dalam RUU EBT.
"Apakah karena adanya pasal tambahan tersebut yang menyebabkan pembahasan DIM di internal Pemerintah alot sehingga tidak kunjung diserahkan kepada DPR RI?" ujar Mulyanto dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (23/11/2022).
Lanjutnya, Mulyanto menilai kalau pun Pemerintah menganggap skema power wheeling baik-baik saja, tetapi DPR tidak setuju karena di tengah kondisi pasokan listrik yang surplus, maka bisa diambil oleh swasta dan PLN bisa hancur.
"Kami tidak ingin transmisi diliberalisasi dan sudah seharusnya penguasaan dan pengelolaan dilakukan oleh negara," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM Hendra Iswahyudi menyebut, latar belakang usulan penerapan skema power wheeling antara lain sebagai sinyal positif pada pasar global tentang keseriusan Indonesia mendukung prinsip Environmental, Social, Governance (ESG) menuju ekonomi hijau.
Selain itu, mengacu pada pengalaman implementasi RUPTL, sangat sulit untuk mencapai sukses rasio yang tinggi, sehingga power wheeling dapat menjadi akselerator penerapan EBT. Lalu sebagai back-up plan apabila PLN tidak dapat menyediakan listrik hijau.
"Kemudian sebagai antisipasi perkembangan perdagangan listrik hijau lintas kawasan ASEAN (connectivity), Indonesia sangat berpotensi menjadi eksportir listrik EBT di kawasan ASEAN, sehingga perlu kesiapan infrastruktur pendukung dan mekanisme yang fleksibel. Potensi power wheeling ini diminati oleh banyak perusahan termasuk yang concern dengan green energy," ujar Iswahyudi.
Di sisi lain, ekonom senior Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Faisal Basri mengatakan bahwa skema power wheeling memang bentuk privatisasi dan liberalisasi terselubung.
Menurutnya, Indonesia harus belajar dari pengalaman negara-negara yang dalam melakukan privatisasi di sektor ketenagalistrikan, di mana pernah terjadi blackout di California akibat kebangkrutan pembangkit listrik swasta.
"Selain itu, skema power wheeling juga justru bisa memperkuat dominasi oligarki yang berganti kulit karena di dalam RUU EBT masih diakomodasi gasifikasi batu bara. Jadi seharusnya energi baru dihilangkan saja dan di dalam RUU cukup dengan energi terbarukan," ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: