Gonjang-Ganjing Tahun 2023 Bikin Politik Mencemaskan, Ekonomi Mendebarkan: Jokowi Punya Tanggung Jawab yang Besar untuk...
Seperti apa kondisi politik dan ekonomi di tahun 2023? Kondisi politik diprediksi akan mencemaskan. Sebab, memasuki tahun pemilu, saling serang antarkubu makin ramai. Tak jauh beda dengan suhu politik yang memanas, kondisi ekonomi juga belum bisa dianggap nyaman karena ancaman resesi membuat jantung ekonomi berdebar-debar.
Peneliti politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Siti Zuhro, mengatakan bahwa tahun 2023 adalah tahun politik. Tahun menyongsong pemilu serentak: pileg, pilpres, dan pilkada. Di tahun politik ini, akan sarat dengan kompetisi/kontestasi. Apalagi dalam satu tahun akan dilaksanakan tiga jenis pemilu yang berbeda.
"Tentunya akan penuh dengan persaingan," kata Siti, saat berbincang dengan Rakyat Merdeka, tadi malam.
Baca Juga: Rampungkan Restrukturisasi, Garuda Indonesia Terbitkan Surat Utang Baru
Pemerintah, diingatkan Siti, punya pekerjaan rumah yang besar, yaitu bagaimana menghadirkan kompetisi yang sehat yang tidak menghalalkan semua cara. Pemilu yang dilandasi penegakan hukum yang memadai agar tidak anarki.
Konflik dan kerusuhan dalam pemilu, prediksi Siti, bisa terjadi bila banyak perilaku distortif dan melanggar hukum. Karena itu, Pemerintah, Pemda, dan semua stakeholders terkait pemilu perlu bersinergi untuk menyukseskan pemilu dan berkomitmen agar semua tahapan pemilu dilakukan secara benar dan akuntabel.
Dalam situasi ini, Presiden Jokowi punya tanggung jawab besar agar Pemilu 2024 berjalan sukses. Karena itu, ia berharap Jokowi menjaga stabilitas politik dalam negeri. Apalagi Jokowi tidak lagi memiliki beban politik, karena telah menjadi presiden selama dua periode, sehingga tak bisa lagi mencalonkan diri.
Siti mengingatkan, Pemilu 2024 adalah pemilu yang rumit dan berat. Karena menggabungkan tiga pemilu sekaligus. Persaingan pemilu ini akan mulai terjadi di 2023. Karena peserta pemilu sudah ditetapkan.
Di tahun 2022 saja, terang Siti, dinamika politik sudah menghangat dengan kemunculan relawan dan komunitas yang melakukan deklarasi capres. Maka di tahun 2023, diprediksi dinamika politik akan semakin panas.
“Parpol akan mulai membentuk poros-poros politik,” terangnya.
Menurut Siti, poros parpol yang selama ini sudah terbentuk akan melakukan deklarasi. Seperti NasDem, PKS, dan Demokrat yang tergabung dalam Koalisi Perubahan dengan mengusung Anies Baswedan. Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang beranggotakan Golkar, PAN, PPP juga akan makin mengerucut menetapkan capres-cawapres. Begitu juga dengan koalisi Gerindra-PKB juga akan melakukan hal yang sama.
Siti pun mewanti-wanti agar semua pihak bisa mencegah adanya adu domba dengan politik identitas yang dapat membelah masyarakat di tahun politik. Lalu, bahaya laten lain yang perlu dikhawatirkan adalah kesenjangan sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, dia berharap para elite dan pemimpin politik dapat menjaga stabilitas demi Pemilu 2024 berkualitas dan berkeadaban.
Hal senada disampaikan pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Andriadi Achmad. Kata dia, kondisi politik di tahun 2023 mencemaskan karena bisa menjembatani lancar tidaknya Pemilu 2024.
"Tahun 2023 adalah tahun menuju gerbang kompetisi politik seperti pileg, pilpres, dan pilkada secara serentak perdana pada tahun 2024. Tentu suhu politik yang akan kian memanas sehingga memberikan warna-warni tersendiri terhadap dinamika politik nasional," ujar Andriadi, kemarin.
Ia juga menyoroti persoalan ekonomi yang tentunya memengaruhi dinamika politik. Menurut dia, saat ini ada kekhawatiran resesi global 2023. "Semoga kita bisa melewati dan keluar dari dinamika resesi global. Apalagi di tahun 2024 kita menghadapi pesta demokrasi terbesar. Optimisme perlu kita tumbuhkan dalam menghadapi suhu politik yang cenderung memanas," ucapnya.
Soal kekhawatiran resesi global, memang tak mengada-ada. Lembaga-lembaga internasional kompak mengingatkan, perekonomian dunia tahun ini akan menghadapi tantangan berat.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut, ketidakpastian global akan memengaruhi perekonomian Indonesia. “Karena ketidakpastian ini, perekonomian Indonesia akan melambat di 2023,” ucapnya.
Ia memprediksi, pertumbuhan ekonomi pada 2023 berada di kisaran 4,3 hingga 4,7 persen, lebih rendah dari perkiraan 2022 yang sebesar 5,15 persen. Menurut dia, faktor ketidakpastian global berdampak terhadap kinerja ekspor dan investasi.
Kabar baiknya, pertumbuhan ekonomi Indonesia bersumber dari konsumsi rumah tangga. Sayangnya, konsumsi rumah tangga akan mengalami tekanan dari naiknya inflasi dan kenaikan suku bunga yang aman menekan daya beli masyarakat menengah ke bawah. Karena itu, Pemerintah perlu untuk menjaga inflasi, terutama dari sektor energi.
Namun, 2023 tetap memiliki “potensi” ekonomi bagi rakyat. Bhima menjelaskan, menjelang pemilu, biasanya akan terjadi peningkatan di sekitar konsumsi domestik. Pengeluaran Pemerintah menjadi salah satu penyokong perekonomian, terutama melalui belanja-belanja populis, seperti pencairan bantuan sosial dan subsidi.
Sejumlah sektor biasanya menantikan pesta politik setiap lima tahun. Karena biasanya, belanja Pemerintah menjelang pemilu akan meningkat dan mendorong aktivitas ekonomi domestik sehingga menopang pertumbuhan ekonomi. Ia mencontohkan, pertumbuhan belanja Pemerintah lebih tinggi pada 2013 dan 2018 atau setahun jelang pemilu.
"Ada kecenderungan belanja itu bersifat lebih populis, pencairannya lebih cepat, dan beberapa serapan anggaran terkait dengan bansos, subsidi. Itu biasanya meningkat sebelum adanya event politik," kata Bhima.
Namun, lanjut Bhima, sektor-sektor dari segi pengeluaran yang tumbuh pesat merupakan pengeluaran selain rumah tangga. Beberapa jenis belanja itu di antaranya terkait belanja partai politik, lembaga survei, dan konsultan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Lestari Ningsih
Advertisement