Mantan presiden Rusia, Dmitry Medvedev telah memperingatkan NATO bahwa kekalahan Moskow di Ukraina dapat memicu perang nuklir. Medvedev yang menjabat sebagai wakil ketua Dewan Keamanan Rusia menegaskan, kekuatan nuklir tidak pernah kalah dalam konflik besar.
"Kekalahan (Rusia) dalam perang konvensional dapat memicu perang nuklir. Kekuatan nuklir tidak pernah kalah dalam konflik besar yang menjadi sandaran nasib mereka,” kata Medvedev, dilaporkan Al Jazeera, Kamis (19/1/2023).
Baca Juga: Putin: Rusia Tidak Buta dengan Apa yang Terjadi di Ukraina
Medvedev juga mengatakan, aliansi militer dan pemimpin pertahanan Barat lainnya harus mempertimbangkan risiko kebijakan mereka. Kremlin dengan cepat mendukung pernyataan Medvedev, dengan mengatakan bahwa pernyataan tersebut sepenuhnya sesuai dengan prinsip Moskow.
Doktrin Moskow mengizinkan serangan nuklir setelah agresi terhadap Federasi Rusia dengan senjata konvensional, ketika keberadaan negara terancam. Keputusan utama Rusia dalam penggunaan senjata nuklir dipegang oleh Presiden Vladimir Putin.
Medvedev, yang berada di lingkaran terdekat Putin kerap melontarkan ancaman kekuatan nuklir terhadap Barat. Sejak perang di Ukraina meletus pada Februari, Medvedev, menjadi salah satu pejabat yang vokal menentang Barat.
Rusia dan Amerika Serikat merupakan negara dengan kekuatan nuklir terbesar. Keduanya memiliki sekitar 90 persen hulu ledak nuklir dunia.
Menurut Federasi Ilmuwan Amerika, Rusia memiliki 5.977 hulu ledak nuklir, sementara Amerika Serikat memiliki 5.428. Di sisi lain, China memiliki 350 hulu ledak nuklir, Prancis 290 dan Inggris 225.
Sejauh ini Washington belum mengungkapkan rencana langkah antisipasi jika Putin memerintahkan penggunaan senjata nuklir. Sementara dalam hal senjata nuklir, Rusia memiliki keunggulan nuklir atas aliansi NATO.
Putin menyebut "operasi militer khusus" Rusia di Ukraina sebagai pertempuran eksistensial dengan Barat yang agresif dan arogan. Putin mengatakan, Moskow akan menggunakan semua cara untuk melindungi negaranya.
Invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari telah memicu salah satu konflik paling mematikan di Eropa sejak Perang Dunia II, dan konfrontasi terbesar antara Moskow dan Barat sejak Krisis Misil Kuba 1962.
Amerika Serikat dan sekutunya mengutuk invasi Ukraina sebagai perampasan tanah bergaya kekaisaran. Sementara Ukraina telah berkomitmen untuk berperang sampai tentara Rusia terakhir meninggalkan wilayahnya.
Putin telah mengirimkan beberapa sinyal bahwa Moskow tidak akan mundur dari medan perang. Dia telah mengirimkan rudal hipersonik ke Atlantik dan menunjuk jenderal tertingginya untuk menjalankan perang di Ukraina. Pada Rabu (11/1/2023), Putin mendorong industri militer Rusia untuk meningkatkan produksi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait:
Advertisement