Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kasus Morowali: TKI, TKA China, dan Bom Waktu

Kasus Morowali: TKI, TKA China, dan Bom Waktu PT Gunbuster Nickel Industry (PT GNI) | Kredit Foto: PT Gunbuster Nickel Industry (PT GNI)

Persoalan Investor

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Tauhid Ahmad berpendapat akar permasalahan kasus Morowali adalah kepentingan investor.

Dalam kasus investor pada umumnya, pihak investor mendatangkan tenaga kerja dari negara asalnya hanya untuk jabatan di level manajemen ke atas. Posisi manajemen ke bawah tetap diberikan kepada pekerja domestik.

Sedangkan dalam kasus PT GNI, pekerja asing asal China banyak menempati posisi manajemen ke bawah yang seharusnya dikerjakan oleh pekerja lokal. Kondisi ini yang memicu adanya ketimpangan sosial-ekonomi.

“Kalau ekspatriat memang biasanya upah dan benefitnya lebih tinggi dari pekerja lokal. Berlaku juga bila pekerja Indonesia bekerja di luar negeri, karena ada kompensasi yang harus dibayar,” ujar Tauhid. “Perbedaan ini harus bisa diakomodasi. Terutama soal perlakuan perusahaan, sistem, kesejahteraan, dan sebagainya. Itu bisa memicu berbagai konflik di antara para pekerja.”

Senada, Ubedilah juga berpendapat meledaknya bom waktu di kasus Morowali dipicu oleh kelonggaran pemerintah terhadap TKA China. Menurutnya, sejak awal pemerintah tidak tegas dan transparan soal TKA China. Pemerintah seolah menganakemaskan TKA China yang mengakibatkan problem serius secara sosiologis.

“Apalagi, misalnya, ternyata TKA China yang datang tidak hanya yang ahli, tetapi juga tenaga kasar. Sementara rakyat Indonesia banyak menganggur,” kata Ubedilah.

Ubedilah berharap pemerintah dapat segera melakukan evaluasi mendasar terkait kebijakan TKA asal Tiongkok ini. Misalnya, dengan melakukan moratorium TKA asal China atau menghentikan masuknya TKA Tiongkok untuk beberapa tahun ke depan. Pemerintah juga dapat membuat kebijakan mengurangi jumlah TKA China di dalam negeri.

Di sisi lain, Tauhid merekomendasikan pemerintah untuk mengamalkan amanat kebijakan hubungan industrial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. UU tersebut telah mengatur cara penyelesaian hubungan industrial, misalnya dengan bipartit. 

Dalam UU 2/2004, dijelaskan bahwa, “Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.”

Selain bipartit, Tauhid juga menyarankan pemerintah untuk membentuk tim pengawas dan menghadirkan dialog dengan serikat pekerja dan perusahaan.

Penyelesaian akar masalah kasus Morowali terbilang merupakan suatu keniscayaan. Sebab, bila kasus tak diselesaikan secepatnya, Tauhid meyakini kasus ini akan menjadi api dalam sekam (red. peribahasa yang berarti bahaya yang dapat terjadi di setiap waktu).

Bhima menambahkan industri pertambangan, dalam konteks ini nikel, perlu mendapat sanksi yang tegas. “Memang nikel ini kan seksi, jadi komoditas masa depan, terutama untuk baterai kendaraan listrik. Tapi, kita seolah didorong lebih hijau dengan beli mobil listrik, [namun] ternyata di hulu kotor, banyak masalah.”

Sentimen Anti-China

Berbeda dengan pandangan-pandangan sebelumnya, Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah berpendapat masifnya perdebatan tentang kasus Morowali dipicu oleh sentimena anti-China yang hangat di kalangan masyarakat Indonesia.

Dia meyakini kasus ketimpangan antara pekerja lokal dan pekerja asing terjadi di berbagai tempat. Namun, konflik Morowali makin diperburuk dengan sentimen anti-China yang telah dibangun sejak lama.

“Yang namanya TKA atau ekspatriat selalu mendapatkan berbagai fasilitas dan gaji yang lebih tinggi. Tidak hanya di Morowali, tetapi juga di berbagai perusahaan asing di Jakarta,” jelas dia saat dihubungi Warta Ekonomi, Selasa (24/1/2023).

“Tetapi, perbedaan itu tidak dipermasalahkan karena tidak ada sentimen anti-China,” lanjut dia.

Oleh karena itu, dalam konteks kasus Morowali, dia melihat persoalan yang terjadi bukan tentang ketidakharmonisan hubungan antara TKA dan TKI. “Tetapi, sentimen anti-China yang terus diembuskan dan tidak ada upaya meredamnya,” tutup Piter.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: