Labelisasi Galon BPA Tak Bisa Ditunda, Masa Depan Generasi Muda Indonesia dalam Bahaya
Pelabelan galon plastik polikarbonat yang mengandung bahan kimia berbahaya Bisphenol A (BPA) bak berjalan terseok-seok. Padahal ini cuma kebijakan pemerintah untuk pelabelan kemasan galon BPA, bukan pelarangan kemasan BPA seperti di luar negeri. Sikap Indonesia justru sangat lunak, tapi market leader industri air minum dalam kemasan (AMDK) yang dikuasai investasi asing terus menolak pelabelan.
Akibat pelabelan galon bekas pakai terus ditunda-tunda, maka tak terhindarkan lagi, puluhan juta orang Indonesia terus minum air dari kemasan galon BPA setiap hari, termasuk ibu hamil dan balita yang sangat rentan terhadap paparan bahaya senyawa kimia BPA.
Sementara di luar negeri, kemasan plastik BPA sudah tegas dilarang dan dibatasi secara ketat. Ada apa dengan Indonesia?
Padahal, kata Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA), Arist Merdeka Sirait, “Semua pakar kesehatan dunia yang telah melakukan riset sepakat bahwa BPA sangat berbahaya bagi usia rentan, yaitu bayi, balita, dan janin pada ibu hamil. Bahkan BPA dinyatakan sebagai polusi yang tak terlihat.”
Dunia internasional sudah paham bahaya senyawa BPA tidak main-main, karenanya secara global plastik BPA diregulasi sangat ketat dan dilarang di banyak negara maju.
Uni Eropa sudah melarang penggunaan BPA sejak 2011, Kanada melarang kemasan BPA untuk anak dan orang dewasa (2017), negara bagian di Amerika Serikat juga sudah mengeluarkan larangan BPA untuk kemasan seperti California (2015), Connecticut (2014), Illinois (2014), Maryland (2014), Massachusetts (2014), Minnesota (2014), New York (2014), Washington (2014), termasuk juga Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Malaysia.
Menurut Arist, Komnas PA terus mengawasi kemasan mengandung BPA yang merupakan, “Salah satu bentuk kekerasan yang tak bisa dilihat, yaitu kekerasan dalam bentuk merampas kesehatan anak.”
Para pelaku usaha dan beberapa pihak terkait sepertinya lebih memilih kepentingan industri dan membiarkan kekerasan tak terlihat ini terus terjadi. Pembiaran ini dilakukan dengan cara, “Dibiarkannya anak-anak, bayi, balita dan janin terus mengonsumsi makanan dan minuman dari wadah atau kemasan yang mengandung BPA,” kata Arist dalam Diskusi Publik ‘Bebaskan Anak-anak Indonesia dari Kemasan BPA yang Berbahaya’, di Jakarta (26/1).
Menurut Arist, senyawa BPA tersebut banyak ditemukan di berbagai kemasan yang selama ini digunakan sehari-hari. Utamanya kemasan untuk menyeduh air susu dan wadah yang terbuat dari plastik, seperti galon bekas pakai yang oleh industri AMDK terus digunakan berulang-ulang untuk kemudian dijual lagi ke konsumen.
“Saya kira industri wajib hukumnya membuat peringatan itu (BPA),” kata Arist.
Arist menyayangkan beberapa kemasan plastik seperti galon bekas pakai yang belum mencantumkan label peringatan bahaya BPA.
“Saya lihat iklan yang ada saat ini tidak menyebutkan bahwa kemasannya sudah bebas dari BPA, padahal itu wajib hukumnya oleh industri. Kalau tidak ada iklan seperti itu, maka labelnya (peringatan BPA) harus ada di dalam kemasan plastik,” katanya.
Arist mengatakan, kemasan yang tidak dilabeli peringatan bahaya BPA dan dikonsumsi oleh anak-anak dan ibu-ibu, pastinya berbahaya. Itu sebabnya, dibutuhkan regulasi yang dapat mengatur label BPA pada pangan.
“Wajib hukumnya industri menggunakan label. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (Perka BPOM) No 31 Tahun 2018 sudah disusun dengan persetujuan DPR, dan sudah diserahkan ke Setneg untuk mendapatkan persetujuan Presiden,” kata Arist. “Perka itu lahir sebagai regulasi untuk melindungi para ibu dan anak-anak dari bahaya BPA.”
Memanfaatkan Hari Gizi Nasional yang dirayakan pada 25 Januari 2023, Arist mengatakan Komnas PA sudah menulis surat terbuka kepada Presiden agar peraturan BPOM No. 31 Tahun 2018 tentang label pangan olahan agar segera ditandatangani.
“Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk melindungi kesehatan anak-anak dari bahaya senyawa kimia BPA yang banyak ditemukan di kemasan-kemasan plastik,” katanya.
Sejauh ini, sudah ada lebih dari 130 studi yang melaporkan efek berbahaya dari BPA. Beberapa di antaranya antara lain: menyebabkan kanker payudara, pubertas dini, penyakit jantung, infertilitas, katalisator penyakit saraf, dan obesitas, serta gangguan hormon dan perubahan perilaku pada anak.
Indonesia disarankan untuk melihat tindakan sigap negara lain untuk melindungi warganya. “Jepang sudah meninggalkan plastik BPA dan beralih 100 persen ke plastik PET untuk kebutuhan kemasan di negeri itu,’ kata Prof. Mochamad Chalid, pengajar dan peneliti pada Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, belum lama ini.
Chalid baru saja mengikuti workshop di Tokyo, Jepang, tentang penggunaan plastik berbahan polyethylene terephthalate atau disingkat PET. Plastik PET dikenal relatif aman dan saat ini semua industri AMDK di Indonesia menggunakan plastik PET untuk kemasan botol.
Sebaliknya untuk kemasan galon, market leader industri AMDK yang dikuasai investasi asing masih mempertahankan dominasi pasar, dengan tetap menggunakan galon bekas pakai yang mengandung BPA. Hal inilah yang terus menjadi persoalan, karena kepentingan investasi asing jadi tampak lebih dominan, ketimbang kepentingan kesehatan masyarakat dan generasi Indonesia ke depan.
Indonesia sepertinya menentang arus global soal perlindungan kepada rakyatnya sendiri. Faktanya, bisnis AMDK adalah bisnis raksasa dengan omzet triliunan rupiah. Wajar bila market leader yang dikuasai pihak asing yang sudah merasa nyaman selama ini tidak mau diusik.
Berdasarkan data pada 2021, total pendapatan pasar air minum dalam kemasan di Indonesia mencapai 10,51 miliar dolar AS atau ekuivalen dengan Rp 149,9 triliun.
Ini artinya, bisnis AMDK memang sangat menggiurkan, Bahkan diperkirakan pasar AMDK akan terus bertumbuh rata-rata sebesar 5,53 persen per tahun hingga 2026 (Statista, 2022).
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement