Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Rencana Penundaan Pemilu Mencuat, Amien Rais: Rakyat Indonesia Cerdas, Kami Tidak akan Tinggal Diam!

Rencana Penundaan Pemilu Mencuat, Amien Rais: Rakyat Indonesia Cerdas, Kami Tidak akan Tinggal Diam! Kredit Foto: Instagram Amien Rais
Warta Ekonomi, Jakarta -

Adanya wacana penundaan Pemilu 2024 memang menuai beragam komentar. Salah satu pihak yang terpancing untuk bereaksi adalah Ketua Majelis Syuro Partai Ummat, Amien Rais. Ia menegaskan bahwa dirinya dan partai yang dipimpinnya tidak akan segan melawan siapa pun yang menginjak-injak konstitusi.

Menurut Amien Rais, majalah TEMPO memberitakan bahwa upaya menunda pemilu terus dikerjakan oleh beberapa pihak. Menanggapi hal tersebut, Partai Ummat dengan keras melawan oknum yang ingin menginjak-injak konstitusi dengan menunda pemilu. Rakyat dan bangsa Indonesia cerdas, tidak akan diam jika itu terjadi.

"Majalah TEMPO memberitakan bahwa upaya menunda pemilu terus dikerjakan oleh beberapa pihak. Partai Ummat dengan keras melawan oknum yang ingin menginjak-injak konstitusi dengan menunda pemilu. Rakyat dan bangsa Indonesia cerdas, tidak akan diam jika itu terjadi. #amienrais,"cuit Amien Rais di linimasa Twitter-nya beberapa waktu lalu.

Baca Juga: Soal Upaya Penundaan Pemilu, Amien Rais: Rakyat Indonesia Tidak Akan Diam

Belum lama ini, Pengamat Ekonomi dan Politik, Anthony Budiawan, menilai perpanjangan masa jabatan presiden sedang berproses.

"Berbagai skenario sudah disiapkan dengan matang. Baik melalui MPR maupun PERPPU (Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang), atau bahkan dekrit presiden. Ada yang berpendapat, presiden dapat mengeluarkan dekrit untuk menyelesaikan segala masalah, termasuk konstitusi," bebernya.

Dia menegaskan, seolah-olah dekrit presiden adalah senjata pamungkas untuk menerobos hambatan konstitusi. "Seolah-olah dekrit presiden merupakan hukum tertinggi, lebih tinggi dari konstitusi, dan bisa mengubah konstitusi," urainya.

Baca Juga: Amien Rais Tegas Tolak Wacana Penundaan Pemilu, Bakal Lawan Keras Penginjak-injak Konstitusi: Tidak Akan Diam!

Menurut Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) ini, tentu saja pendapat seperti itu sangat menyesatkan dan tidak benar. Pertama, beber dia, konstitusi Indonesia tidak mengatur atau tidak mengenal dekrit presiden sehingga dengan sendirinya, dekrit presiden tidak sah secara konstitusi.

Sebagai penggantinya, konstitusi Indonesia memberi wewenang kepada presiden untuk mengeluarkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (PERPPU) apabila negara menghadapi keadaan kegentingan yang memaksa atau darurat.

Dalam hal ini, PERPPU pada hakekatnya sama dengan dekrit presiden. Akan tetapi, sifatnya masih terbatas pada keadaan kegentingan yang memaksa atau darurat saja. Dekrit tidak lain adalah keputusan atau perintah atau maklumat dari eksekutif, umumnya diambil kepala negara atau kepala pemerintah. Di Amerika Serikat, dekrit presiden dikenal dengan executive order.

Baca Juga: Pemilu Makin Dekat, Generasi Muda Disebut Kunci Suara Kubu Amien Rais hingga Fahri Hamzah Cs Menguat

Dalam kondisi apa pun, dekrit presiden, executive order, atau PERPPU tidak boleh sampai melanggar konstitusi atau bertentangan dengan undang-undang lainnya. Hal itu karena, dekrit dan PERPPU hanya mempunyai kekuatan hukum setara undang-undang.

Presiden sebagai pelaksana konstitusi harus tunduk kepada konstitusi. Maka dari itu, dekrit presiden tidak boleh melanggar konstitusi. Presiden bukan hukum tertinggi di sebuah negara.

Dengan demikian, kekuatan hukum dekrit presiden lebih rendah dari konstitusi sehingga dekrit presiden tidak bisa mengubah konstitusi. Artinya, dekrit presiden atau PERPPU tidak bisa mengubah masa jabatan presiden, periode jabatan presiden, atau penundaan pemilu yang harus dilaksanakan setiap lima tahun.

Baca Juga: Partai Ummat Resmi Usung Anies Baswedan Jadi Capres, Amien Rais Yakin Ada Pertolongan dari Allah: Semua Lebih Mudah

Dia menjelaskan, banyak pihak berpendapat bahwa dekrit presiden kembali ke UUD 1945 (asli) yang dikeluarkan Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 seolah-olah menjadi hukum tertinggi, di atas konstitusi. Hal itu membuat presiden seolah-olah bisa membuat perintah melebihi atau melanggar konstitusi.

Oleh sebab itu, tidak heran apabila banyak yang berpendapat bahwa Presiden Jokowi dapat mengeluarkan dekrit presiden untuk menunda pemilu, dengan alasan keadaan darurat atau kegentingan yang memaksa.

Menurut Anthony Budiawan, dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 merupakan perintah konstitusi (UUD Sementara, UUDS) ketika itu yang berlaku mulai 15 Agustus 1950.

Baca Juga: Masuk 'Kandang' Amien Rais, Anies Kini Sudah Resmi Dilantik sebagai 'Bapak Politik Identitas Indonesia', yang Ngomong ini...

"Pasal 134 UUDS menyatakan: Konstituante (Sidang Pembuat Undang-undang Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-undang Dasar Sementara ini," jelas Anthony Budiawan dikutip dari alerta.id, Kamis (15/12/2022).

Setelah sekian lama konstituante tidak berhasil membentuk UUD karena tidak pernah mencapai kuorum, ditambah pernyataan sebagian terbesar anggota-anggota konstituante untuk tidak menghadiri lagi sidang, konstituante tidak mungkin lagi dapat membuat UUD seperti yang diperintahkan oleh konstitusi, di mana kondisi ini berbahaya bagi negara.

Oleh karena itu, ungkapnya, dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 yang menetapkan UUD 1945 sebagai UUD negara Indonesia pengganti UUDS dianggap sebagai pemenuhan tugas konstitusi kepada pemerintah.

Baca Juga: Partai Ummat Resmi Usung Anies Baswedan Jadi Capres, Amien Rais Yakin Ada Pertolongan dari Allah: Semua Lebih Mudah

Di lain sisi, dekrit atau maklumat Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada 23 Juli 2001 yang membekukan MPR/DPR serta membubarkan partai golkar terindikasi melanggar konstitusi.

Di dalam penjelasan konstitusi tentang Undang-Undang Dasar Negara Indonesia dinyatakan secara eksplisit, kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat.

Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat. Dewan ini tidak bisa dibubarkan oleh presiden (berlainan dengan sistem parlementer) kecuali anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat semuanya merangkap menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Baca Juga: Dicuekin Prabowo Padahal Pernah Dukung Garis Keras, Amien Rais Total Berpaling ke Anies Baswedan: Lawan Kezaliman!

"Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan presiden dan jika dewan menganggap bahwa presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa minta pertanggungan jawab kepada Presiden," jelasnya.

Dekrit presiden Gus Dur nampaknya melanggar konstitusi seperti yang dimaksudkan pada penjelasan tersebut di atas, dan berakhir dengan pemakzulan.

Baca Juga: Sobary Heran Amien Rais Cs Pilih Nama 'Partai Ummat': Jumawa!

Kedua dekrit Presiden Soekarno dan Gus Dur menjadi contoh nyata bahwa dekrit presiden harus taat konstitusi. Apabila tidak, dapat berakhir pada pemakzulan.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Yohanna Valerie Immanuella

Advertisement

Bagikan Artikel: