Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

175 Peristiwa Pelanggaran Hak Beragama Sepanjang 2022, Bamsoet Ajak Masyarakat Perkuat Toleransi

175 Peristiwa Pelanggaran Hak Beragama Sepanjang 2022, Bamsoet Ajak Masyarakat Perkuat Toleransi Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, menuturkan bahwa bangsa Indonesia patut bangga. Merujuk pada hasill Jajak Pendapat Litbang Kompas pada bulan November 2022, mayoritas responden atau sekitar 72,6 persen berpandangan bahwa masyarakat Indonesia masih menjunjung tinggi nilai toleransi. Bahkan, 10,4 persen di antaranya menyatakan masyarakat Indonesia sangat toleran.

Namun, di sisi lain, hasil jajak pendapat tersebut juga mengisyaratkan bahwa khusus mengenai isu toleransi beragama, sekitar 47,6 persen responden mengungkapkan masih perlunya penguatan sikap tenggang rasa dan toleransi dalam kehidupan beragama.

Baca Juga: Kripto Hadirkan Paradigma Baru di Sektor Keuangan, Bamsoet: Pasarnya di Indonesia Terbesar di Asia!

"Persepsi senada juga tercermin dari temuan SETARA Institut yang mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2022, masih dijumpai beberapa kasus yang mencederai kehidupan beragama kita. Setidaknya tercatat ada 175 peristiwa dengan 333 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan 50 gangguan yang dilakukan terhadap tempat ibadah," ujar Bamsoet dalam keterangan tertulisnya, Rabu (22/2/2023).

Dia menjelaskan, gambaran di atas menunjukkan bahwa nilai toleransi, khususnya toleransi dalam kehidupan beragama, belum sepenuhnya mencerminkan gambaran ideal sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi. Antara lain pada pasal 28 E ayat 1 bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. 

Pasal 28 I ayat 1 berbunyi, hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Serta, pasal 29 ayat 2 bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

"Dalam konteks kehidupan beragama, belum optimalnya implementasi nilai-nilai toleransi mengisyaratkan perlunya kita bermawas diri, serta mengubah paradigma dalam memaknai toleransi. Toleransi dalam kehidupan beragama tidak boleh hanya bersifat retorika yang hanya terlihat baik-baik saja di permukaan, tetapi rapuh dalam landasan fundamentalnya," jelas Bamsoet.

Dia menuturkan, dalam konteks kehidupan berdemokrasi, sikap toleransi pada ranah politik pun masih menyisakan beragam persoalan yang cukup menyita perhatian publik. Hal ini tercermin dari hasil Survei Litbang Kompas yang mengindikasikan bahwa sekitar 77,8 persen responden merasa pesimis dan khawatir tergerusnya nilai-nilai toleransi pada Pemilu 2024.

"Potensi intoleransi ini ditengarai dipicu oleh beberapa faktor, antara lain rendahnya kedewasaan politik masyarakat, kurangnya keteladanan tokoh politik dalam kontestasi politik secara sehat, penggunaan politik identitas, imbas atau residu dari Pemilu 2019 yang belum sepenuhnya tuntas, dan maraknya buzzer politik. Semua faktor tersebut dikhawatirkan menjadi pemicu terpinggirkannya sikap toleran dalam kontestasi politik, dan turut memanaskan suhu politik," pungkas Bamsoet.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Andi Hidayat
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Advertisement

Bagikan Artikel: