Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Apple Batal Investasi di Indonesia, Pemerintah Perlu Bentuk Tim Berantas Pertambangan Ilegal

Apple Batal Investasi di Indonesia, Pemerintah Perlu Bentuk Tim Berantas Pertambangan Ilegal Kredit Foto: Unsplash/Dominik Vanyi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Perusahaan teknologi asal Cupertino, California, Apple Inc., sempat tertarik berinvestasi di Indonesia. Bahkan, Apple Inc. berencana membangun pabrik di Indonesia. Sayangnya, perusahaan tersebut membatalkan rencana investasi di Indonesia karena maraknya praktik pertambangan tanpa izin (PETI) atau pertambangan ilegal.

Pengamat ekonomi SBM ITB, Anggoro Budi Nugroho pun angkat bicara. Menurut Anggoro, isu kandungan timah ilegal di Indonesia telah berkembang sejak 2013. Terdapat merek-merek ponsel dunia yang diberitakan menggunakan kandungan timah ilegal tersebut, termasuk sebuah perusahaan elektronik raksasa yang terkenal.

Baca Juga: Blak-Blakan Sangat Iri dengan Steve Jobs, Bill Gates Bocorkan Rahasia Sukses Sang Pendiri Apple!

Sebuah koran Inggris menyebar isu ini dengan menulis adanya sebuah lembaga nirlaba yang melancarkan campaign tuduhan penggunaan timah ilegal Bangka. Hal itu dilakukan dengan cara menggunduli hutan, memberikan upah rendah kepada buruh, dan mencemari lingkungan.

"Isu-isu semacam ini sebenarnya banyak terjadi di Barat," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima, dikutip Senin (6/3/2023).

Rantai pasok timah Bangka tersebut kemudian diekspor ke perantara-perantara yang menjadi penyuplai pembuat komponen untuk perusahaan elektronik, termasuk diberitakan dua merek ponsel dunia.

Anggoro pun memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk segera menangani isu tersebut. Pasalnya, isu tersebut dapat meningkatkan risiko investasi dan keyakinan terhadap kepastian tata pemerintahan di Indonesia.

"Turunkan tim. Bantah jika memang tidak terbukti atau umumkan sanksi bila memang ada," ucapnya.

Selain itu, ia juga menyarankan perlunya penyelidikan terkait tuduhan tersebut. Apakah memang isu tersebut ada atau hanya sekadar alasan untuk menunda investasi saja. Lebih lanjut Anggoro menyebut, skor kemudahan berbisnis di Indonesia (Ease of Doing Business) dari Bank Dunia terus meningkat sejak sebelum pandemi. Namun, setelahnya stagnan dan berada di level 73 dunia hingga kini.

Ranking Indonesia sempat membaik sejak Presiden Joko Widodo menjabat. Tercatat, pada 2013 Indonesia berada di level 120, kemudian meningkat di level 73 sejak 2020 hingga kini. "Hal itu berarti Indonesia telah membaik sebanyak 47 peringkat dalam enam tahun," ucapnya.

Adapun pihak yang menurutnya paling bedampak oleh isu lingkungan, hukum, dan upah tersebut adalah aspek perlindungan kepada pemegang saham yang selama ini nilainya bertengger di 37. Angka tersebut terbilang cukup rendah sehingga akan mengurangi minat investasi. Pasalnya, pembatalan investasi Apple di Indonesia telah disorot global.

Jika ketidakpercayaan global terhadap Indonesia meningkat, investor akan meminta premi risiko yang lebih besar. Hal tersebut untuk menanamkan setiap US$1 hanya demi imbal hasil yang sama. Kebanyakan dari mereka pun akan lebih memilih ke pasar uang atau FDI (Foreign Direct Investment) ke negara lain.

"Jangan runtuhkan prestasi enam tahun ini hanya gara-gara Apple," tuturnya.

Baca Juga: Investasi Pengeboran Panas Bumi Capai US$5 Juta per 1 Megawatt, PGE Disarankan Lakukan Ini

Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Septian Hario Seto, mengungkapkan bahwa permbatalan pembangunan pabrik Apple di Indonesia karena persoalan traceability atau ketelusuran bahan baku dari produk timah di Indonesia.

"Perusahaan-perusahaan besar ketika ingin melakukan investasi akan melakukan cek secara mendalam mengenai bahan baku produknya," ujarnya.

Apple, misalnya, ingin memastikan traceability timah di RI, mulai dari perizinan, praktik pertambangannya, hingga prinsip bisnis berkelanjutan atau environmental, social and governance (ESG). 

Ia menduga ada kemungkinan ketika perusahaan asing ini melakukan traceability, muncul dugaan timah-timah ini berasal dari praktik pertambangan yang tidak tepat.

Namun, pernyataan itu ditepis oleh Direktur Operasi dan Produksi PT Timah Tbk Poerwoko saat menjawab pertanyaan wartawan di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, Senin (27/2/2023). "Semua izin usaha pertambangan (IUP) timah itu sudah operasi produksi," ucapnya.

Artinya, seluruh prosesnya bisa dipertanggungjawabkan, mulai dari asal, izin, sampai nomor seri. Bahkan, perseroan telah mengundang kelompok funding buyer mineral yang tergabung dalam Responsible Mineral Inititative (RMI) untuk menyoroti soal asal-usul timah yang diproduksi PT Timah Tbk.

"RMI juga sudah approve dan percaya bijih timah yang diproduksi PT Timah Tbk bisa dipertanggungjawabkan asal-usulnya," kata Poerwoko.

Seperti yang diketahui, selama ini praktik pertambagan ilegal menjadi bagian dari PR pemerintah menjelang larangan ekspor timah pada Juni 2023. Sebab, hilirisasi belum optimal. Data Kementerian Perindustrian mencatat produksi logam timah sudah berkisar 80.000 ton pada 2022 dan baru lima persen yang terserap industri domestik. Sisanya, diekspor ke luar negeri.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita juga sudah menegaskan serapan rendah karena terbatasnya industri di hilir. Persoalan PETI juga membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak kalah kesal. Di tengah kebijakan untuk memulai hilirisasi, Jokowi  justru melihat komoditas tambang Indonesia lebih banyak dijual mentah ketimbang diolah sendiri.

Dalam konteks timah, Jokowi merasa Indonesia dirugikan sebagai pemilik cadangan timah terbesar kedua di Indonesia yang sebenarnya nilainya bisa meningkat 69 kali lipat lewat hilirisasi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Advertisement

Bagikan Artikel: