Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Petik Pelajaran Berharga dari Kasus SVB, Dirut BRI Sebut Potensi Resesi Indonesia Hanya 2% di 2023

Petik Pelajaran Berharga dari Kasus SVB, Dirut BRI Sebut Potensi Resesi Indonesia Hanya 2% di 2023 Kredit Foto: BRI

Sebagai tolak ukur yang menunjukkan tingkat optimisme para pelaku UMKM, melalui Indeks UMKM BRI telah menggambarkan aktivitas UMKM yang terus meningkat pada kuartal IV tahun 2022. Hal itu terlihat dari kenaikan rata-rata omzet, penggunaan tenaga kerja dan lain-lain dari indeks 103 meningkat ke 105. Dari sini juga, para pelaku UMKM melihat aktivitas selama satu kuartal ke depan (Januari – Maret 2023) masih sangat baik.

Terakhir, dari tolak ukur tersebut juga terlihat bahwa kepercayaan pelaku UMKM terhadap kemampuan pemerintah dalam mengelola ekonomi semakin meningkat. Dilaporkan indeks kepercayaan tersebut naik dari angka 127 menjadi 138.

Baca Juga: Mengenal Desa Modern Berbasis Digital di Desa BRILiaN Mijen Kudus

Sebelumnya, Sunarso menjabarkan identifikasi dan pelajaran yang bisa dipetik dalam kasus SVB dan Credit Suisse. Di antaranya, kedua bank ini mengalami kesulitan likuiditas dan permodalan yang dihasilkan dari tak adanya antisipasi terhadap risiko ganda (multiple risk). Mulai dari reputational risk yang dihasilkan pemberitaan penjualan saham perusahaan oleh para petinggi dan soal unreleased loss.

Kemudian liquidity risk, yang mana tidak tersedianya likuiditas memadai untuk kebutuhan likuiditas jangka pendek, diperparah dengan contingency funding plan yang gagal dan maturity mismatch asset. Kemudian yang tak jauh berbahaya yakni adanya kenaikan suku bunga transaksi setempat (fed fund rate) dari 0,25% menjadi 4,75% sehingga menyebabkan market risk.

Baca Juga: Bermodal Pinjaman dari BRI, Wanita Asal Makassar Sukses Buka Usaha Kue

"Ini menyebabkan unreleased loss yang IFRS yaitu available for sale naik hingga 15,54% terhadap modal. Jadi IFRS-nya, aset-aset dia yang available for sale itu menjadi berpotensi rugi. Jadi modalnya akan langsung berkurang sebesar itu potensinya. Begitu dieksekusi menjadi benar-benar real loss, menjadi sangat berbahaya. Ini berpengaruh terhadap liquidity risk dan juga permodalan," ucap Sunarso.

Terakhir, risiko yang sangat berbahaya juga dari concentration risk, di mana nasabah mengumpulkan portfolio surat berharga hanya terkonsentrasi di sektor startup dan teknologi. Kemudian juga tidak tersedianya Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) dari regulator (rule of regulatory), kelonggaran kewajiban Loan Coverage Ratio (LCR), dan juga net stable funding ratio

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ayu Almas

Advertisement

Bagikan Artikel: